Rabu, 15 Maret 2017

Hai kamu, yang temaniku dalam khilaf.

Hai kamu,
Iya kamu yang dulu sempat menemani dalam khilafku,
Untukmu, rasa sakit memang ada namun itu semua tak akan berbanding dengan penyesalan yang terasa.

Hai kamu,
Iya kamu yang tiba-tiba pergi dalam sunyi, membuatku tak berarti namun kini ku sadari kepergianmu memberi arti.

Hai kamu, kini karenamu aku berubah bukan, bukan berubah tapi lebih tepatnya aku kembali iya kembali menjadi diriku yang semula.

Maafkan aku yang melibatkanmu dalam khilafku, dan maaf aku tak bisa menepati janjimu..

Aku tak akan menunggumu karena aku sadar aku bukanlah untukmu dan kamu juga bukan milikku dan bukan pula jodohku.

Sabtu, 07 Januari 2017

"Abah Minta Baju"


Abah adalah Ayah, guru, dan penasehat bagiku bahkan mungkin lebih dari itu, nama asli abah adalah KH. Yahya atau H. Ayak ya orang biasa memanggilnya begitu. abah yang gagah kini mulai lemah namun tetap semangatmu tak tergoyah.
Abah selalu tak ingin merepotkan orang lain, bahkan dalam kepayahanya sekalipun ia tetap enggan merepotkan orang disekitarnya. Iya aku ingat betul ketika abah dirawat dirumah sakit pasca operasi prostat nya abah tetap kekeuh ingin memakai bajunya sendiri padahal kita semua tahu bahwa badannya masih kaku karena obat bahkan ditangannya ada dua selang infus.
Abah yang periang dan humoris selalu ingin menghibur dengan guyonan jenakanya walau dirinya dalam kesulitan. Ia tetap berpose dengan lidahnya yang melet ketika kita mengajaknya berfoto ketika ia terbaring kaku ditempat tidur.
Namun satu hal yang akan selalu kuingat yang selalu ku jadikan motivasi hidupku, ku jadikan cambuk dalam prosesku. Ya tepatnya ketika lebaran idul Fitri kemarin ketika anak-anak nya sibuk untuk membeli baju baru abah berkata "abah ga usah dibeliin baju yah baju abah yang baru masih banyak belum sempet abah pake dapet ngasih devi, Taufan masih belum abah pake. Tapi abah pengen dibeliin baju sama Lulu" seketika itupun ku diam bagaimana aku bisa membelikan abah baju baru sedangkan diriku sendiri masih belum bekerja tepatnya aku masih kuliah. Tapi aku paham bahwa perkataan abah bukan karena abah hanya ingin baju baru tapi lebih dari itu abah ingin aku hidup bahagia hidup berkecukupan dan sukses dalam hidupku. Abah maafkan anakmu ini yang belum bisa membelikan baju buat abah, abah yang kuat yah melawan penyakit abah. Abah harus kuat sampe ulu bisa beliin baju buat abah.. jangan dulu tinggalin ulu sebelum ulu sukses yah sebelum ulu bisa ngebahagiain abah, abah harus tetep ada..

Selasa, 27 Desember 2016

Peran keluarga dalam perubahan karakter anak menjadi lebih baik

Peran keluarga dalam perubahan karakter anak menjadi lebih baik

Entah karena peran teknologi yang semakin maju, atau tingkat pendidikan orang tua zaman sekarang yang lebih tinggi, faktanya, orang tua zaman sekarang semakin menyadari pentingnya peran mereka dalam pendidikan anak. Sejumlah upaya dilakukan orang tua untuk mendukung pendidikan anak-anaknya. Misalnya, dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif di rumah, penerapan waktu khusus belajar bagi anak dan melakukan pendampingan saat anak belajar, bahkan tak sedikit pula orang tua yang mengalokasikan anggaran khusus untuk les tambahan yang diharapkan bisa meningkatkan prestasi anak di sekolah. Apapun upaya yang dilakukan, itikadnya satu, yaitu peduli pada pendidikan anak..


karena itu sebagai orang tua wajib memberikan pendidikan kepada anaknya. Orang tua dalam kaitannya dengan pendidikan anak adalah sebagai pendidik utama, maka dari itu tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak diantaranya memberikan dorongan atau motivasi baik itu kasih sayang, tanggung jawab moral, tanggung jawab sosial, tanggung jawab atas kesejahteraan anak baik lahir maupun batin, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan bukan hanya ada di sekolah saja tetapi pendidikan itu bisa dengan membimbing dan mengarahkan anak kepada norma-norma agama dan adab sopan santun dalam  kehidupannya nanti di masyarakat. Dengan bimbingan dan pengarahan yang baik dari orang tua terhadap anak sejak usia dini, maka diharapkan setelah dewasa nanti segala tindakannya akan selalu didasari dengan nilai-nilai agama. Sekarang ini banyak sekali para orang tua yang kurang memperhatikan dan mengarahkan anaknya, justru mereka sibuk dengan kepentingannya sendiri sehingga lupa dengan kewajibannya sebagai orang tua yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak.



Pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak-anak bukanlah sebuah isapan  jempolbelaka. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak terbukti memberikan banyak dampak positif bagi anak-anak dan pada perkembangnya anak-anak tersebut banyak yang mencapai kesuksesan tatkala mereka menginjak usia dewasa dan terjun kedalam dunia sosial yang sebenarnya. Orangtua yang sibuk dengan pekerjaan sering melakukan upaya untuk menemukan cara untuk terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, terutama di sekolah-sekolah mereka. Bukti menunjukkan bahwa memiliki orang tua terlibat di sekolah dasar (SD) akan menuai efek positif yang akan berlangsung seumur hidup anak. Jadi tidak hanya peran guru dan lingkungan yang penting tetapi peran orang tua juga memegang peranan yang sangat penting dalam prestasi belajar anak. Sebuah publikasi oleh Divisi Penelitian dan Pendidikan Sekolah Kamehameha membuat catatan bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan dasar anak-anak memiliki dampak positif untuk melanjutkan nilai akademis anak melalui sekolah tinggi. Berdasarkan bukti-bukti yang mereka melihat, menjadi tertarik dan terlibat dalam pendidikan awal anak-anak memiliki efek positif selama karir akademik anak, meskipun orang tua tidak terlibat di tingkatan sekolah yang lebih tinggi misalnya di universitas. Konsisten dengan temuan ini, Sekolah Kamehameha juga menemukan bahwa di kelas lima SD, mereka yang orang tuanya tidak terlibat dalam pendidikan mereka memiliki nilai lebih rendah di jenjang sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dengan orang tua terlibat aktif di kelas lima. Peningkatan prestasi akademik di antara siswa yang orang tuanya terlibat dalam pendidikan dasar mereka tampaknya memiliki efek global, menurut Sekolah Kamehameha. Sebagai contoh, orangtua mungkin bekerja sebagai seorang sejarawan mendampingi anak belajar dirumah dan terlibat dalam program sejarah di sekolah dasar anaknya. Anak akan memiliki nilai yang lebih tinggi dalam semua mata pelajaran karena keterlibatan ayahnya, bukan hanya nilai sejarahnya. Juga nilai matematika, bahasa inggris dan sainsnya diharapkan menjadi lebih tinggi sebagai akibat dari keterlibatan ayahnya dalam pendidikannya. Baca juga cara meningkatkan motivasi belajar diri sendiri Profesor sosiologi Sophia Catsambis dari Queens College, dalam sebuah laporan tahun 1998, membahas bukti bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan pada tingkat sekolah tinggi memiliki efek positif pada perilaku siswa dan sikap terhadap sekolah, dan prestasi akademik. Dia juga menunjukkan bahwa kurangnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak memberikan efek yang sangat signifikan, dan bukti yang dikumpulkan sejauh ini cukup menjanjikan. Keterlibatan orang tua di sekolah tinggi termasuk penataan waktu kapan saat mengerjakan PR sekolah, kapan membantu orang tua mengerjakan tugas sehari-hari dirumah dan keterlibatan siswa dalam kegiatan sekolah memberikan dampak yang jauh lebih positif. Para peneliti di Vanderbilt University melihat keterlibatan orang tua dalam pendidikan anakanak membuat mereka lebih bangga dan meningkatkan perasaan positif pada diri siswa. Mereka mampu melakukan pekerjaan mereka dengan baik, tetapi juga merasakan kebanggaan dan prestasi pribadi ketika mereka menyelesaikan tugas. Disini peran orang tua tidak hanya membantu secara teknikal menyelesaikan soal dari sekolah tetapi juga membangun psikologi anak. Dengan dampak positif yang dihasilkan oleh pendidikan yang melibatkan orang tua, maka Pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak-anak tidak bisa kita abaikan lagi bahkan mungkin orang tua perlu pendidikan tambahan untuk keperluan ini. Ayah, bunda.. mari sempatkan waktu membantu anak kita belajar demi masa depan mereka, karena pendidikan dan agama adalah warisan paling berharga untuk mereka.

Peranan orang tua dalam pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tugas manusia secara umum. Dari sejarah dapat dilihat bahwa tugas pokok manusia tersimpan dalam kutipan berikut, "Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. Bila dipilah, tugas pertama manusia adalah beranak cucu dan bertambah banyak. Manusia diberi mandat untuk mempunyai keturunan yang berkualitas- rohani, intelek, emosi, kehendak dan phisik yang sehat. Dengan kata lain, manusia diperintahkan untuk menghasilkan manusia yang seutuhnya, yaitu manusia yang mirip dengan Penciptanya. Hati, pikiran, emosi, kehendak dan tindakannya seirama dengan hati, pikiran, emosi, kehendak dan tindakan PenciptaNya. Ada kemiripan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pikiran dan tindakan manusia merupakan derivatif dari pikiran dan tindakan Tuhan. Tugas manusia yang kedua adalah memenuhi dan menaklukkan bumi dan menguasai yang ada di dalamnya. Ada hubungan yang tidak terpisahkan antara tugas yang pertama dan yang kedua. Dengan bertambahnya keturunan manusia yang "seutuhnya", diharapkan daerah-daerah yang kosong dapat dihuni, dikuasai, dan dipelihara. Ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi ada dalam kuasa mereka. Mereka harus merawat lingkungan di mana mereka hidup, memelihara tanah agar tetap baik dan subur, menjaga binatang agar tetap lestari. Dengan kata lain, manusia diberi kuasa untuk memelihara dan mengembangkan bumi dan segala isinya. Dalam kedua tugas itu sudah tersimpan esensi pendidikan. Peran orang tua sangat besar dalam mendidik anaknya. Seorang ibu yang melahirkan anak menjaga dan memeliharanya dengan baik. Ibu menyusui anaknya; orang tua memperkenalkan alam kepada anaknya: bunga di halaman rumah, burung dalam sangkar dan yang lain-lain. Mereka terus mendidik anaknya dengan sabar agar dapat mengucapkan kata, berbicara, makan dan berjalan sendiri. Mereka mengenalkan alam kepada anaknya dan memberikan contoh bagaimana melakukan tugas sehari-hari di rumah: mencuci piring, memasak, membersihkan rumah dan sebagainya. Bahkan sampai menginjak dewasa, orang tua masih terus mendidik anaknya agar menjadi anak yang mandiri dan matang, dan dapat menjalani hidupnya sendiri. Selain itu, orang tua memberikan nilai-nilai etis: apa yang baik dan yang tidak baik bagi masyarakat. Apa yang diberikan orang tua kepada putra-putrinya merupakan esensi dari pendidikan secara umum. Orang tua bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Orang tua mendidik anaknya tentang prinsip hidup; bagaimana anak seharusnya hidup; bagaimana anak berinteraksi kepada Penciptanya, sesama manusia dan alam. Meminjam istilah para filosof, orang tua mengajarkan kebenaran kepada putra-putrinya. Apakah peran orang tua masih dominan dalam pendidikan anak-anaknya sekarang? Tugas itu, bila tidak semuanya, hampir semua sudah diambil alih oleh pemerintah. Hak mendidik anak yang seharusnya merupakan tanggung jawab orang tua, sekarang ada di tangan pemerintah. Pemerintah menentukan kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan. Pemerintah menentukan apa yang akan diajarkan kepada siswa dan menentukan siapa yang mendidik mereka. Peran pemerintah yang begitu besar mengundang beberapa pertanyaan. Apakah ada garansi bahwa guru mendidik murid seperti orang tua mendidik anaknya? Apakah ada garansi bahwa materi pendidikan sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tua? Sejauh mana seharusnya pemerintah menentukan kebijakan pendidikan? Namun, masyarakat tidak begitu perduli dengan hal ini. Kalaupun ada yang peduli, isu-isu yang mereka ajukan tidak diabaikan. Dituntut sebuah kesadaran, peran orang tua dan masyarakat untuk memperjuangkan pendidikan yang baik. Masih diperlukan banyak pemikiran bagaimana pendidikan yang menghasilkan anak didik yang taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan yang berkarakter.

Bupati Kutai Barat FX Yapan mengatakan, keberhasilan siswa di luar sekolah berguna bagi masa depan mereka. Karena itu, peran orang tua dalam mengasuh anak sehari-hari sangat diperlukan. “Merupakan tugas dan tanggungjawab bersama membina, mendampingi, mengarahkan, memperhatikan dan memperduli-kan tumbuh kembang anak,” kata Yapan, dalam sambutan tertulisnya dibacakan oleh Asisten III Setkab Kubar Gabriel Oktavianus, dalam kegiatan pelepasan 122 Siswa kelas IX, dan pentas seni Sekolah Menengah Pertama Katolik 02 WR Soepratman, Kecamatan Barong Tongkok, di BPU Tanaa Purai Ngeriman, Sendawar, baru-baru ini. Yapan menerangkan, selain guru disekolah, orang tua adalah peran utama dalam mengasuh anak di rumah. Sebab itu, untuk mencerdaskan generasi bangsa, bukan hanya tanggung jawab pemerintah. “Juga bukan hanya pihak sekolah atau guru saja, tetapi tanggungjawab kita bersama. Pola asuh dan kepribadian dalam keluarga serta lingkungan juga berpengaruh terhadap anak dalam meniti pendidikan di sekolah,” ujar Gabriel.

Aang Nuh


Kiai Haji Abdullah bin Nuh (Cianjur, Jawa Barat, 30 Juni 1905-Bogor, 26 Oktober 1987) adalah seorang ulama terkenal, sastrawan, penulis, pendidik, dan pejuang. Sejak kecil Abdullah bin Nuh memperoleh pendidikan agama Islam dari ayahnya, KH. Raden Nuh, seorang ulama di kota Cianjur. Di samping itu, ia masuk sekolah I’anat at-Thalib al-Miskin yang didirikan oleh ayahnya. Dengan pendidikan tersebut ia mampu berbicara dalam bahasa Arab. Pada usia yang relatif muda ia sudah menghafal kitab Nahwu Alfiah (nahwu/tata bahasa berbait seribu) di luar kepala. ia juga mempelajari sendiri bahasa Inggris.
Pada masa mudanya Abdullah bin Nuh aktif mengajar di Hadramaut School, sekaligus menjadi redaktur Hadramaut, majalah mingguan edisi bahasa Arab di Surabaya (1922-1926). Karena kemampuannya dalam berbahasa Arab, pada tahun 1926 ia dikirim belajar ke Fakultas Syariah Universitas al-Azhar (Cairo) selama dua tahun. Sekembali dari Cairo ia mengajar di Cianjur dan Bogor (1928-1943).
Ketika perjuangan kemerdekaan Indonesia memuncak, Abdullah bin Nuh terjun langsung ke kancah perjuangan. Dia menjadi anggota Pembela Tanah Air atau Peta (1943-1945) untuk wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Sekitar tahun 1945-1946 dia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950 dia menjadi anggota Komite Nasional Pusat (KNIP) di Yogyakarta, di samping sebagai kepala seksi siaran berbahasa Arab pada Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan dosen luar biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII).
Pada tahun 1950-1964 Abdullah bin Nuh memegang jabatan sebagai kepala siaran bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian dia menjabat Lektor Kepala Fakultas sastra Universitas Indonesia (1964-1967). Tahun 1969 dia mendirikan majlis al-Ghazali dan Pesantren al-Ihya di Bogor. Di kedua tempat pendidikan ini ia berfungsi sebagai sesepuh.
Di Bogor, Abdullah bin Nuh aktif melaksanakan kegiatan dakwah Islamiah dan mendidik kader-kader ulama. Dia juga menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain di Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailan, Singapura, dan Malaysia. Ia juga ikut serta dalam Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan dinamis.
Keistimewaan Abdullah bin Nuh sebagai ulama adalah kemampuannya menciptakan syair Arab dalam berbagai bentuk dan tujuan, seperti syair pujian dan ratapan. Syair-syairnya telah dihimpun dalam Diwan Ibn Nuh, berupa qasidah (118 qasidah) yang terdiri dari 2.731 bait. Semuanya digubah dalam bahasa Arab fusha (fasih) yang bernilai tinggi.
Karya tulis Abdullah bin Nuh yang terkenal adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab antara lain adalah al-Alam al-Islami (Dunia Islam), Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah), La Taifiyata fi al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam), Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafi’i), Mu’allimu al-‘Arabi (Guru Bahasa Arab), dan al-Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang bertebaran). Adapun karangannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Cinta dan Bahagia, Zakat Modern, Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw., dan Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten serta sebuah buku berbahasa Sunda Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam). Adapun karya terjemahan dari kitab Imam al-Ghazali adalah Minhaj al-Abidin (Jalan Bagi Ahli Ibadah), Al-Munqiz Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan), dan al-Mustafa li ManLahu Ilm al-Ushul (Penjernihan bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul).***

Aang Baden

Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro Asy-Syaikh Ahmad Syathibi bin Muhammad Sa'id Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi Asy-Syafi'i (bahasa Arab: العالم العلامة الكامل الورع الشيخ أحمد شاطبى بن محمد سعيد القنتورى الشنجورى الجاوى الشافعى, lahir di Cianjur, Hindia Belanda, sekitar tanggal 12-18 tanpa diketahui secara pasti bulan dan tahun kelahirannya - meninggal di Cianjur, Indonesia pada Rabu 14 Jumadil Akhir 1365 Hijriyah, tanggal 15 Mei 1946) atau lebih dikenal dengan Mama Gentur adalah salah satu sosok ulama Tatar Pasundan yang bergelar Al-Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Wara.

Syekh Ahmad Syathibi tanpa diketahui secara pasti tanggal, bulan dan tahun kelahirannya, dia lahir di Kampung Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat, Hindia Belanda. Tetapi, yang jelas dia keturunan Waliyullah Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya, Tatar Pasundan. Nama sewaktu kecilnya adalah Adun, setelah pulang dari Mekkah namanya diganti menjadi Dagustani. Namun, nama masyhurnya sekarang yaitu Al-'alim Al-'allamah Syaikh Ahmad Syathibi atau biasa disebut sebagai Mama Gentur kata orang sunda yang jadi anak muridnya.

Mama Gentur

Syekh Ahmad Syathibi, lebih dikenal dengan sebutan Mama Gentur. Mama adalah merupakan istilah Bahasa Sunda yang berasal dari kata Rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kyai sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kyai. Sementara Gentur adalah sebuah Desa yang ada di Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Ahmad Syathibi adalah anak ketiga dari empat bersaudara buah hati pasangan Mama Hajji Muhammad Sa'id & Ibu Hajjah Siti Khodijah. Kakak kandungnya antara lain Hajjah Ruqiyah (pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur), Mama Hajji Ilyas (alias Mama Hajji Yahya, pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi), dan adik kandung yakni Mama Hajji Muhammad Qurthubi (alias Mama Gentur Kidul, pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur).

Perjalanan

Kabar dari Syekh Ahmad Eumed (alias Mama Cimasuk, Garut) bin Syekh Muhammad Rusdi (alias Mama Haurkoneng, Garut), "Waktu saya mengunjungi Mama Gentur, dia mengisahkan, "Bahwa dulu Mama ketika sangat menginginkan punya ilmu yang besar tapi Mama merasa bingung memilih guru untuk ngaji kemana?" 
Akhirnya Mama berangkat ziarah kubur ke Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus alias Wali Luar Batang, Jakarta. Di situ Mama membaca Shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali dan tamat sebanyak 44 kali dalam waktu delapan bulan. Kemudian, setelah itu Mama bermimpi bertemu dengan Wali Luar Batang. Wali tersebut berkata, "Kalau kamu benar-benar mau punya ilmu yang besar, segeralah pergi ke daerah Garut." 

Menempuh pendidikan

Pesantren Keresek

Maka kemudian Mama mulai berangkat ke Pesantren Keresek. Kata Mama Keresek, "Kalau Ananda mau punya ilmu yang besar, besok mama antar ke paman mama yaitu Pangersa Mama Ajengan Muhammad Adzro'i di Bojong, sebab dalam waktu sekarang ini para sepuh yang punya ilmu yang besar di tiap kabupaten juga kebanyakan adalah yang nyantri ke paman mama tersebut, yaitu Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, Garut". Mama Gentur menginap semalam di Keresek, besoknya kemudian diantarkan ke Pesantren Bojong.

Pesantren Bojong

Diceritakan waktu pertama masuk ke Pesantren, oleh guru di pesantren disumpah jikalau tidak mempunyai ilmu sihir. Kemudian dia melaksanakan sumpahnya tanda tidak memiliki ilmu sihir. Kemudian barulah dia diterima sebagai murid di Pesantren. Makanan yang biasa dia makan selama di pesantren cukup dengan talas yang dicuilkan ke dalam sambel roay, tidak pernah makan yang enak dengan rupa-rupa makanan.
Ketika mendapati masalah kitab yang susah dipaham, dia langsung menghadiahi mualifnya dengan makanan dan aurod shalawat Hanya dalam waktu 40 hari mondok di Bojong dia sudah hafal kitab Yaqulu (Nazom Maqsud, dalam ilmu shorof), Kailany (ilmu shorof), Amrithy (ilmu nahwu), Alfiyah (ilmu nahwu dan shorof), Samarqondy (ilmu bayan), dan Jauhar Maknun (ilmu ma'ani, bayan dan badi).
Keunggulan Pesantren Bojong - Garut adalah para santri yang belajar di pesantren tersebut jika sudah belajar selama dua tahun biasanya akan jadi Al-'Alim al-'Allamah.Mama Gentur menetap di Pesantren Bojong hanya selama satu tahun hingga akhir bulan Sya'ban  karena disuruh gurunya, yaitu Syekh Muhammad Adzro'i untuk menemani Kiyai Muhammad Rusdi atau Kiyai Rusdi berguru ngaji di Pesantren Gudang - Tasikmalaya sekarang, yang sudah menetap selama empat tahun.
Kiyai Rusdi merupakan salah satu santri Bojong, di saat Mama Gentur mulai mondok di Pesantren Bojong tersebut Kiyai Rusdi sudah genap tiga tahun. Ketika Ajengan Muhammad Rusdi sudah genap dua tahun di Bojong juga oleh gurunya yaitu Syekh Muhammad Adzro'i sudah disuruh muqim sebab sudah Allamah, hanya saja ayahnya dan kakeknya belum mengizinkan.
Sebab menurut pendapat kakeknya yaitu Syekh Utsman berkata kepada Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, "Ajengan khawatir masih remaja, baru usia 17 tahun entar jadi Kiyai nunggul dan takut kasar bahasanya." Kemudian dijawab oleh Mama Bojong, "Tidak akan jadi Kiyai nunggul Mang Haji, saya yang bertanggungjawab, bahkan santrinya juga putra-putra saya dan santri-santri saya." Kemudian dijawab lagi oleh kakeknya, "Ajengan semoga berkenan untuk menambah lagi ilmunya kepada cucuku itu, agar cucuku itu ilmunya semakin bertambah matang, fahamnya semakin bertambah jenius."
Maka kemudian Mama Bojong bersedia untuk mengajar Kiyai Muhammad Rusdi lagi. Ketika Ajengan Muhammad Rusdi sudah genap empat tahun di Bojong sedangkan Mama Gentur sudah genap satu tahun. Dari situ Kiyai Rusdi disuruh ngaji ke Mama Syuja'i, Gudang, Tasikmalaya, ditemani oleh Mama Gentur

Pesantren Gudang

Menurut penuturan Mama Gentur, Mama Gudang jika sedang mengajar di hadapan Kiyai Rusdi dagu dan badan dia bergetar dikarenakan sungkan akan ilmunya Kiyai Rusdi. Bahkan, Mama Gudang berkata kepada Mama Gentur, "Katakan kepada Ki Rusdi segeralah bermukim. Bukankah Kang Adzro'i pun sudah menyuruhnya dan sudah ada dalam ridho guru?" Kemudian Mama Gentur menyampaikan amanat dari gurunya itu dengan sebisa-bisa bicara kepada Ajengan Muhammad Rusdi. Namun, tetap saja ayah dan kakeknya belum juga menyetujuinya.
Kemudian Kiyai Rusdi setelah mondok di Gudang selanjutnya pindah lagi ke Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur yang disebut Ba'dul Ikhwan oleh Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tijan. Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur dan Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, Garut adalah teman sepondok sewaktu ngaji di Syekh Ibrahim al-Baijuri. Mama Gentur terus menetap di Gudang hingga sembilan tahun lamanya.
Waktu mondok pesantren di Gudang, dia pernah ziarah ke makam kubur di Geger Manah. Sebelumnya dia puasa dulu selama empatpuluh hari baru berangkatlah ke Geger Manah dan langsung mendatangi juru kunci makam. Dia disambut di rumah kuncen sembari ditanya perihal maksud dan tujuannya, yaitu hendak ziarah tabaruk di makam keramat. Kemudian diantarlah dia menuju makam keramat tersebut. Kira-kira jam empat Subuh dia pulang dari makam dan balik lagi ke tempat kuncen, kemudian kuncen menjamunya dengan rupa-rupa makanan.
Selesai makan, dia bertanya kepada kuncen, "Mang, malem tadi ada hujan kesini gak?" Jawab kuncen, "Ah, gak ada. Memangnya ada apa Ajengan?" Kuncen agak heran. "Waktu saya di makam sedang ziarah tiba-tiba ada hujan yang besar sekali, petir menyambar-nyambar disertai angin yang sangat kencang. Saya melihat pohon kayu yang amat besar merunduk-runduk ke tanah seperti mau runtuh, tumbang." Kuncen bertanya, "Terus ada apa lagi?" Jawab Mama Gentur, "Ah rahasia, saya gak sanggup menceritakannya."
Di malam itu kata penduduk kampung ada suara ayam berkokok yang terdengar jelas oleh semuanya, sedangkan di kampung tersebut tidak ada yang punya ayam yang suaranya seperti itu. Semuanya kaget akan suara ayam tersebut, kemudian diselidiki darimana sumbernya suara. Ternyata yakin bahwa suara ayam tersebut berasal dari atas pasir (sunda : bukit atau gunung kecil), tempat makam yang diziarahi oleh Pangersa Mama Gentur. Kata Mama Gentur, "Setelah 9 tahun di Gudang kemudian Mama berangkat ke Mekkah ngaji ke Syekh Hasbullah.

Pesantren di Mekkah

Pertama ngaji di Syekh Hasbullah banyak yang menyepelekannya. Suatu hari, Syekh Hasbullah berkata kepada murid-muridnya, kira-kira begini artinya, "Besok hari Rabu kita akan mulai ngaji kitab Tuhfatul Muhtaj, tapi sebelumya kalian muthala'ah dulu kitabnya. Hasil muthala'ah tuliskan dalam buku masing-masing. Besok semua harus hadir dan bawalah hasil tulisan tersebut. Besoknya Syekh Hasbullah memeriksa buku murid-muridnya. Ketika melihat buku tulisan Mama, Syekh Hasbullah tertegun, kemudian buku Mama Gentur dipisahkan dan melanjutkan pemeriksaannya.
Setelah selesai, Syekh Hasbullah berkata, "Ngaji Tuhfah batal sebab gak pantas Syatibi ngaji kepada saya, bahkan seharusnya saya yang ngaji ke Syatibi. Masalah yang belum sampai saya muthala'ah, dalam buku Syatibi sudah ada. Saya gak sanggup mentaswirkan kitab dihadapan Syatibi. Tetapi, oleh sebab semuanya meminta untuk diteruskan, dan juga Mama memohon supaya diteruskan biarpun dibaca hanya lafadznya, maka barulah Syekh Hasbullah bersedia walaupun cuma lafadznya hingga tamat.
Kata Mama Gentur, "Ilmu yang dipakai muthala'ah kitab tuhfah tersebut adalah sebagian ilmu yang diterima dari Syaikhuna Bojong." Inilah ciri Allamah-nya Syaikhuna Bojong, Garut Sewaktu di Mekkah, Mama Gentur suka shalat di depan baitullah, para askar sudah pada tahu dan memberi isyarat kepada jama'ah yang lain supaya ada tata hormat kepada dia sembari berkata, "Hadza 'Ulamaul Jawa".

Pesantren di Mesir

Setelah sekian lama di Mekkah, kemudian dia berangkat ke Mesir dengan maksud mau melanjutkan thalab ilmunya. Namun, Ulama Mesir sama berkata, "Sudah tidak ada guru buat Ahmad Syathibi". Hanya ada satu ulama ahli qiro'at Qur'an yang berasal dari Indonesia juga yang bermuqim di Mekkah, yaitu dari Pulau Bawean. Selanjutnya mereka saling menggurui. Mama Gentur mengajar ilmu Mantiq, ulama Bawean mengajar ilmu Qiro'at.
Sesudah Mama Gentur mukim di Mekkah selama tiga tahun, kata satu riwayat kemudian ada utusan dari Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur. Amanatnya, "Katakan kepada Syatibi segeralah pulang kemudian mukim di Cianjur, sebab di daerah Tatar Pasundan sudah tidak ada lagi yang kuat untuk jadi pemimpin dan tauladan dari pengamalan ilmu yang sebenarnya.

Pesantren Bunikasih

Kemudian Mama Gentur pulang ke Cianjur melanjutkan mengaji ke Syeikh Shoheh Bunikasih, kemudian mukim di Gentur.

Mendirikan Pesantren

Sebelum muqim, dia membaca Shalawat Nariyyah terlebih dahulu sebanyak 4444 kali dengan maksud supaya mukimnya ditambah-tambah ilmu dan tambah-tambah manfaatnya.
Cara Mama Gentur dalam menyebarkan ilmunya yaitu dia tidak pernah mengajarkan suatu ilmu kepada murid-muridnya kecuali telah ia amalkan terlebih dahulu. Seperti dia mengijazahkan shalawat untuk umum sesudah diamalkan terlebih dahulu selama 40 tahun. Dia pernah diminta mengaji kitab Tuhfah Muhtaj, sebelum belajar mangaji dia puasa dulu selama empatpuluh hari.
Jika makan, dia cukup di mangkok dengan garam. Dia tidak pernah makan enak sebagaimana keadaan dia pada waktu nyantri di pesantren. Suatu ketika, dia khusus diundang makan-makan oleh "Om Muharam". Ia adalah seorang saudagar kaya raya di Cianjur. Segala makanan dan minuman disediakan. Namun, yang dimakan dia cuma sedikit nasi yang dicuilkan ke garam saja. Begitulah menu dia makan selamanya. Cuma pernah sesekali makan agak beda, termasuk mewah menurut dia yaitu waktu makan dengan pepes burayak (ikan kecil) hasil ternak dia, sebab kasab dia yaitu ternak telur ikan hingga jadi burayak.
Malah, suatu ketika Mama Gentur berternak telur ikan di kolam. Ketika sudah jadi burayak, tidak biasanya waktu itu bibit telur jadi dan mulus semuanya. Dari situ Mama memanggil pekerjanya yang bernama Ki Yusuf. Kata dia, "Suf, coba kesini bawa cangkul!" Ki Yusuf menjawab, "Ada apa, Kang?" Kata Mama Gentur, "Kamu lobangi pinggir kolam ini, kemudian buanglah sebagian airnya!" Ki Yusuf heran, "Kalau begitu bukankah burayaknya pasti pada kabur, Kang?" Kata Mama Gentur, "Iya sengaja biar pada kabur ikan-ikannya takutnya ini istidraj karena sadar diri belum bisa ibadah". Setelah terbuang sebagian air dan ikan-ikannya, barulah Ki Yusuf disuruh menutup kembali lubang air tadi.

Karya Tulis

Semasa hidupnya dia mengarang rupa-rupa kitab kurang lebih sekitar 80 kitab, berbahasa Arab dan Sunda. Di antaranya adalah :
  1. Sirojul Munir (dalam ilmu fiqih)
  2. Tahdidul 'Ainain (dalam ilmu fiqih)
  3. Nadzom Sulamut Taufiq (dalam ilmu fiqih)
  4. Nadzom Muqadimah Samarqandiyah (dalam ilmu bayan)
  5. Fathiyah (dalam ilmu bayan)
  6. Nadzom Dahlaniyah (dalam ilmu bayan)
  7. Nadzom 'Addudiyah (dalam ilmu munadzoroh)
  8. Nadzom Ajurumiyah (dalam ilmu nahwu)
  9. Muntijatu Lathif (dalam ilmu shorof)
  10. Dan Lain-lainnya
Sebagian karangannya dalam ilmu bayan ada yang menyebar sampai Tanah Arab. Para Ulama Arab dan Mesir banyak yang membaca hasil karya dia dan memujinya seraya berkata, "Ternyata di Tanah Jawa ada juga ulama yang luas ilmunya".

Asal-Usul Harimau (Maung) Siliwangi

Seperti diketahui, Pajajaran merupakan kerajaan hindu terbesar di Jawa Barat. Tidak begitu jelas siapa pendiri dan kapan berdirinya. Namun lokasinya diketahui di Bogor sekarang. Raja-raja yang pernah berkuasa diantaranya, adalah: Prabu Lingga Raja Kencana, Prabu Wastu Kencana, dan Prabu Siliwangi.
Di antara raja-raja tersebut yang paling termashyur adalah Prabu Siliwangi. Raja yang terkenal amat bijaksana ini beristrikan putri bernama Dewi Kumalawangi. Dari rahim istrinya ini lahirlah tiga orang putra, yaitu: Raden Walangsungsang, Dewi Rarasantang dan Raden Kiansantang.
Raden Kiansantang lahir di Pajajaran tahun 1315. Dia adalah seorang pemuda yang sangat cakap. Tidaklah heran jika pada usianya yang masih muda Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor kedua. Konon, raden Kiansantang juga sakti mandraguna. Tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang ksatria, dan sorot matanya menggetarkan hati lawan.
Diriwayatkan, prabu Kiansantang telah menjelajahi seluruh tanah Pasundan. Tapi, seumur hidupnya dia belum pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya. Padahal ia ingin sekali melihat darahnya sendiri. Maka pada suatu hari, dia memohon kepada ayahnya agar dicarikan lawan yang hebat.
Untuk memenuhi permintaan putranya, Prabu Siliwangi mengumpulkan para ahli nujum. Dia meminta bantuan pada mereka untuk menunjukkan siapa dan dimana orang sakti yang mampu mengalahkan putranya.
Kemudian datang seorang kakek yang bisa menunjukkan orang yang selama ini dicari. Menurut kakek tersebut, orang gagah yang bisa mengalahkan Raden Kiansantang ada di tanah suci Mekkah, namanya Sayidina Ali.
“Aku ingin bertemu dengannya.” Tukas Raden Kiansantang.
 “Untuk bisa bertemu dengannya, ada syarat yang harus raden penuhi,” ujar si kakek.
Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Harus bersemedi dulu di ujung kulon, atau ujung barat Pasundan
  2. Harus berganti nama menjadi Galantrang Setra

 Dua syarat yang disebutkan tidak menjadi penghalang. Dengan segera Raden Kiansantang memakai nama Galantrang Setra. Setelah itu ia segera pergi ke ujung kulon Pasundan untuk bersemedi.
Pergi Ke Mekkah
Tak dijelaskan dengan apa Galantrang Setra pergi ke Mekkah. Yang pasti sesampainya di Arab beliau langsung mencari Sayidina Ali.
“Anda kenal dengan Sayidina Ali?” Tanya Kiansantang pada seorang lelaki tegap yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Kenal sekali,” jawabnya.
“Kalau begitu bisakah kau antar aku kesana?”
"Bisa, asal kau mau mengambilkan tongkatku itu.”
Demi untuk bertemu dengan Ali, Kiansantang menurut untuk mengambil tongkat ya tertancap di pasir. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika mencoba mencabut tongkat itu ia tak berhasil, bahkan meski ia mengerahkan segala kesaktiannya dan pori-porinya keluar keringat darah.
Begitu mengetahui Kiansantang tak mampu mencabut tongkatnya, maka pria itu pun menghampiri tongkatnya sambil membaca Bismillah tongkat itu dengan mudah bisa dicabut.
Kiansantang keheranan melihat orang itu dengan mudahnya mencabut tongkat tersebut sedang ia sendiri tak mampu mencabutnya.
“Mantra apa yang kau baca tadi hingga kau begitu mudah mencabut tongkat itu? Bisakah kau mengajarkan mantra itu kepadaku?”
“Tidak Bisa, karena kau bukan orang islam.”
Ketika ia terbengong dengan jawaban pria itu, seorang yang kebetulan lewat di depan mereka menyapa; “Assalamu’alaikum Sayidina Ali.”
Mendengar sapaan itulah kini ia tahu bahwa Sayidina Ali yang ia cari adalah orang yang sedari tadi bersamanya. Begitu menyadari ini maka keinginan Kiansantang untuk mengadu kesaktian musnah seketika. “Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkannya sedang mengangkat tongkatnya pun aku tak mampu,” pikirnya.
Singkat cerita akhirnya Kiansantang masuk agama islam. Dan setelah beberapa bulan belajar agama islam ia berniat untuk kembali ke Pajajaran guna membujuk ayahnya untuk juga ikut memeluk agama islam.
Usaha Kiansantang Mengislamkan Ayahnya
Sesampainya di Pajajaran, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di tanah Mekkah dari mulai bertemu Sayidina Ali hingga masuk islam. Karena itu ia berharap ayahandanya masuk islam juga. Tapi sayangnya ajakan Kiansantang ini tak bersambut dan ayahandanya bersikeras untuk tetap memeluk agama Hindu yang sejak lahir dianutnya.
Betapa kecewanya Kiansantang begitu mendengar jawaban ayahandanya yang menolak mengikuti ajakannya. Untuk itu ia memutuskan kembali ke Mekkah demi memperdalam agama islamnya dengan satu harapan seiring makin pintarnya ia berdakwah mungkin ayahnya akan terbujuk masuk islam juga.
Setelah 7 tahun bermukin di Mekkah, Kiansantang pun kembali lagi ke Pajajaran untuk mencoba mengislamkan ayahandanya. Mendengar Kiansantang kembali Prabu Siliwangi yang tetap pada pendiriannya untuk tetap memeluk agama Hindu itu tentu saja merasa gusar. Maka dari itu, ketika Kiansantang sedang dalam perjalanan menuju istana, dengan kesaktiannya prabu Siliwangi menyulap keraton Pajajaran menjadi hutan rimba.
Bukan main kagetnya Kiansantang setelah sampai di wilayah keraton pajajaran tidak mendapati keraton itu dan yang terlihat malah hutan belantara, padahal dia yakin dan tidak mungkin keliru, disanalah keraton Pajajaran berdiri.
Dan akhirnya setelah mencari kesana kemari ia menemukan ayahandanya dan para pengawalnya keluar dari hutan.
Dengan segala hormat, dia bertanya pada ayahandanya, “Wahai ayahanda, mengapa ayahanda tinggal di hutan? Padahal ayahanda seorang raja. Apakah pantas seorang raja tinggal di hutan? Lebih baik kita kembali ke keraton. Ananda ingin ayahanda memeluk agama islam.”
Prabu Siliwangi tidak menjawab pertanyaan putranya, malah ia balik bertanya, “Wahai ananda, lantas apa yang pantas tinggal di hutan?”
“Yang pantas tinggal di hutan adalah harimau.” Jawab Kiansantang.
Konon, tiba-tiba prabu Siliwangi beserta pengikutnya berubah wujud menjadi harimau. Kiansantang menyesali dirinya telah mengucapkan kata harimau hingga ayahanda dan pengikutnya berubah wujud menjadi harimau.
Maka dari itu, meski telah berubah menjadi harimau, namun Kiansantang masih saja terus membujuk mereka untuk memeluk agama islam.
Namun rupanya harimau-harimau itu tidak mau menghiraukan ajakannya. Mereka lari ke daerah selatan, yang kini masuk wilayah Garut. Kiansantang berusaha mengejarnya dan menghadang lari mereka. Dia ingin sekali lagi membujuk mereka. Sayang usahanya gagal. Mereka tak mau lagi diajak bicara dan masuk ke dalam goa yang kini terkenal dengan nama goa Sancang, yang terletak di Leuweung Sancang, di kabupaten Garut.
 
 
Epilog
Mengenai tokoh yang disebutkan sebagai Sayidina Ali dalam cerita ini, memang sedikit kontroversial. Mengingat tarikh kejadian, apakah mungkin yang dimaksud sayidina Ali disini adalah Ali Bin Abi Tholib, ataukah yang dimaksud adalah tokoh sayidina Ali yang lain, mengingat tahun kejadian yang terpaut jauh dengan masa kehidupan Ali Bin Abi Tholib. Embuhlah…  )

Prabu Kian Santang

Berbagai Versi Sejarah Hidup Kian Santang
Sejarah Prabu Kian Santang dimulai ketika ia lahir pada tahun 1315 dari Prabu Siliwangi dan salah satu prameswarinya yang memiliki nama Dewi Kumala Wangi atau Nyi Subang Larang. Kian Santang merupakan anak sulung dari tiga bersaudara yaitu dirinya sendiri, Dewi Rara Santang, dan Walangsungsang. Konon katanya, sedari kecil Kian Santang adalah seorang anak yang tangguh sampai ada cerita bahwa ia belum pernah melihat darahnya sendiri dikarenakan belum pernah ada orang yang berhasil melukainya sama sekali. Takjub dengan kemampuannya sendiri, Kian Santang terus mencari siapakah gerangan yang memiliki ilmu jauh lebih kuat darinya.
Ketika Kian Santang menginjak usianya yang ke-22 pada tahun 1337 masehi, ia diangkat menjadi dalem Bogor. Kejadian ini bertepatan dengan diangkatnya Prabu Munding Kawati sebagai panglima besar kerajaan Pajajaran. Kejadian tersebut menjadi sebuah kejadian paling istimewa dan paling historis dalam lingkungan Pajajaran karena kejadian ini meninggalkan sebuah prasasti yang dikenal banyak orang, yaitu Batu Tulis Bogor.
Ada beberapa versi tentang sejarah Prabu Kian Santang yang merasa terlalu kuat sehingga ia mencari lawan yang sepadan untuknya. Versi pertama adalah ia meminta ayahnya untuk mencarikan siapapun itu yang bisa mengalahkannya. Mendengar ini, sang ayah segera memanggil seorang ahli nujum demi memberikan tantangan kepada anaknya. Ketika hampir putus asa karena tidak ada ahli nujum yang mampu memberi tahu dimana ada orang yang mampu mengalahkannya, datanglah seorang kakek yang berkata bahwa jauh di tanah Mekkah sana, ada seseorang bernama Sayyidina Ali yang mampu mengalahkan Kian Santang. Sebelum Kian Santang mampu melawan Ali, kakek tersebut berkata bahwa Kian Santang harus melakukan mujasmedi di Ujung Kulon dan mengubah namanya menjadi Galantrang Setra yang jika diartikan secara harfiah menjadi “berani dan suci”. Versi kedua mengatakan bahwa pertemuan Kian Santang dan kakek tua terjadi di dalam mimpi yang berulang berkali-kali, dimana akhirnya sang Kakek menunjuk ke arah lautan dan berkata bahwa orang yang mampu mengalahkan Kian Santang ada di seberang lautan.
Terlepas dari beberapa versi yang berbeda tentang pertemuan Kian Santang dengan sang kakek, hal yang pasti adalah kemudian Kian Santang pergi untuk mencari kakek ini. Lagi, beberapa versi menggambarkan hal yang tidak sama dimana satu versi menyatakan Kian Santang pergi ke Mekkah dan yang satu lagi hanya mengatakan bahwa Kian Santang pergi menyeberangi lautan. Ketika akhirnya tiba di tempat tujuan, ia tidak langsung bertemu dengan orang yang bernama Ali tapi harus tersesat di antara keringnya padang pasir sebelum akhirnya bertemu seorang kakek tua. Pertemuannya dengan sang kakek ini ada dalam semua versi cerita, dan hal yang ditugaskan oleh sang kakek sebelum mengantarkan Kian Santang bertemu dengan Ali juga sama, yaitu Kian Santang harus mencabut sebuah tongkat yang ditancapkan ke tanah.
Lagi-lagi sejarah Prabu Kian Santang mengalami perbedaan versi ketika satu versi menyatakan begitu Kian Santang mengaku kalah, kakek yang meminta tolong untuk dicabutkan tongkatnya adalah Ali, sementara versi lain mengatakan bahwa Ali kemudian datang untuk mencabut tongkat tersebut setelah sebelumnya membaca bismillah. Terlepas mana yang terjadi, Kian Santang kemudian memeluk agama Islam dan kembali pulang ke Pajajaran dengan sesekali pergi ke Mekah untuk belajar lebih dalam tentang agama tersebut.
Penyebaran Islam Oleh Kian Santang
Awal mula niatan penyebaran Islam oleh Kian Santang adalah ketika ia pertama kali kembali ke Pajajaran dan menceritakan tentang ke-Islamannya pada Prabu Siliwangi. Bukannya senang, Prabu Siliwangi malah kaget dan menolak ajakan anaknya untuk masuk Islam. Karena hal ini, Kian Santang kembali menekuni Islam di Mekah dan baru kembali setelah tujuh tahun. Begitu kembali, ia mencoba untuk pertama-tama menyebarkan ajaran agama yang baru ia pelajari kepada masyarakat sekitar. Mengingat ide agama Islam yang membawa keselamatan di dunia dan di Akhirat, masyarakat Pajajaran dengan senang hati menerima agama baru tersebut. Baru setelah banyak masyarakat yang menganut Islam ia berani memutuskan untuk kembali mengajak ayahnya menganut agama yang ia ajarkan.
Mendengar berita bahwa Kian Santang telah kembali, Prabu Siliwangi yang harga dirinya terlalu tinggi memutuskan untuk pergi dari kerajaan daripada harus diajak untuk masuk Islam. Setelah kabur dengan sebelumnya menghancurkan kerajaan, Prabu Siliwangi sempat beberapa kali terkejar oleh Kian Santang, tapi ia tetap tidak tertarik untuk masuk ke dalam agama Islam. Akhirnya, Kian Santang dengan berat hati kembali ke Pajajaran untuk membangun ulang kerajaan tersebut sambil terus menyebarkan ajaran Islam ke daerah-daerah pelosok. Karena hal inilah, ketika kita membicarakan tentang berkembangnya Islam di daerah Jawa Barat, kita tidak bisa melupakan sejarah Prabu Kian Santang.