Selasa, 27 Desember 2016

Bahasa Daerah yang Hampir Punah

Salah satu kebanggan saya pada Indonesia adalah beragamnya bahasa daerah, yang satu
sama lain bahkan bisa sangat berbeda kosa katanya. Dalam salah satu kesempatan
berkumpul dengan teman-teman dari beberapa negara, ketika saling “membanggakan”
berapa banyak bahasa yang kami kuasai, saya dengan santai bisa mengklaim sudah
menguasai 3 bahasa sejak masih SD : bahasa Jawa, bahasa Madura dan bahasa Indonesia.
Kontan teman saya sesama orang Indonesia tertawa dan mereka pun ikut mengklaim
sejak kecil menguasai lebih dari satu bahasa, minimal bahasa Indonesia dan bahasa “ibu”
yang diajarkan sejak mereka bayi.
Semula teman-teman asing saya mengira kami bercanda. Mereka mengira beragam
bahasa daerah di Indonesia hanya beda pengucapan/dialek saja. Tapi kami
membantahnya, bahasa daerah itu bisa jadi sangat jauh berbeda kosa katanya. Jadi
seseorang yang menguasai bahasa daerah, dia bukan saja berbicara dengan logat dan
intonasi seperti sukunya, tetapi juga menguasai beragam kosa kata dan tata bahasa yang
berbeda. Teman-teman asing kami lalu mengetes pengakuan kami. Secara spontan
mereka meminta kami menyebutkan kosa kata yang mereka pilih secara acak (dalam
bahasa Inggris) untuk diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Mulai dari kosata kata yang
umum – misalnya kata ganti personal/orang – sampai ke kosa kata yang merujuk pada
benda-benda yang lazim ada dalam kehidupan sehari-hari.
Saya berperan menterjemahkan dalam bahasa Madura, teman saya yang lain bertugas
menterjemahkan ke bahasa Sunda, teman yang satu lagi ke bahasa Jawa (meski
sebenarnya dia sama sekali bukan orang Jawa, hanya saja beristrikan wanita Jogja). Kami
tidak boleh berunding, setiap kata yang disebut harus diterjemahkan segera secara
spontan. Hasilnya : memang berbeda. Apalagi kemudian saya menerangkan bahwa
bahasa daerah umumnya mengenal tingkatan kosa kata yang menjadi pembeda
politeness. Misalnya bahasa Jawa mengenal Jawa ngoko, kromo nengah dan kromo inggil.
Bahasa Madura pun kurang lebih sama : kasar, cukup halus dan halus sekali. Kedua teman
saya yang lain membenarkan pernyataan saya dan kami memberi contoh masing-masing
bahasa. Maka, makin terheran-heranlah teman-teman kami dari negara lain, yang
umumnya hanya mengenal satru bahasa nasionalnya saja, tanpa ada ragam polite
language/polite words. “Kalau begitu, anak-anak di Indonesia pandai-pandai ya,sejak kecil
mereka sudah menguasai beberapa bahasa” kata mereka.
 Bagaimana tidak bangga dengan ragam bahasa di Indonesia? Tanpa harus perlu
ikut les/kursus atau club conversation, sejak kecil anak Indonesia dikenalkan pada 1,2,3
bahasa sekaligus. Sayangnya, kebanggaan itu sekarang tampaknya perlu dievaluasi :
berapa banyak anak kecil, ABG dan remaja sekarang yang masih menggunakan bahasa
daerah dalam permainan mereka? Jangankan fasih menggunakan dalam kesehariannya,
sekedar mengerti artinya saja, belum tentu mereka tahu. Belum lama ini Kemendikbud
mengeluarkan sinyalemen yang memprihatinkan : bahasa daerah di Indonesia sudah
nyaris punah! Ya, punah, seperti dinosaurus dan kawan-kawannya, semua hanya tinggal
kenangan di buku cerita atau film fiksi.
Bagaimana kalau sebuah bahasa yang punah? Bukankah bahasa hanya bisa digambarkan
lewat ucapan dan bukan visualisasi gambar kartun atau film animasi? Sebuah bahasa akan
tetap eksis selama penggunanya masih terus memakai bahasa tersebut. Bahasa adalah
hasil budi daya manusia yang paling mendasar. Sebelum manusia mengenal peradaban
barter, berniaga, bernegosiasi dan bahkan berpolitik, mereka pasti menciptakan istilah
yang disepakati bersama dalam komunitas itu. Istilah-istilah itulah yang kemudian
berkembang menjadi bahasa daerah setempat.
Dalam perkembangannya, sebagai produk budaya dan peradaban, sebuah bahasa akan
mengalami pengayaan kosa kata akibat persentuhannya dengan budaya luar dan
kemajuan budi daya yang lain yaitu teknologi. Semisal bahasa Indonesia, yang dalam 2
dekade terakhir ini mengenal kosa kata “Anjungan Tunai Mandiri” sejak teknologi
Automatic Teller Machine merambah dunia perbankan kita. Contoh lain : dulu orang
menyebut “bekas” pada pejabat terdahulu, atau untuk menggambarkan status hubungan
yang pernah ada tapi kini tidak lagi. Misalnya : “bekas Bupati”, “bekas Presiden”, “bekas
pacar”, “bekas mertua”. Kata “bekas” tak ada bedanya dengan barang bekas. Kini, istilah
“bekas” mengalami penghalusan dengan pengenalan kosa kata “mantan”.
Semakin sebuah bahasa jarang digunakan, maka otomatis bahasa itu akan mengalami
stagnasi, kemandegan. Baik kemandegan dalam pengayaan kosa kata, maupun
popularitas. Ada fenomena sosial yang menarik dicermati sejak paruh kedua tahun 1970-
an. Anak-anak yang terlahir pasca dekade tersebut, jarang yang diajarkan “bahasa Ibu”
dengan bahasa daerahnya. Umumnya sejak lahir mereka diajak berdialog dengan bahasa
Indonesia. Memasuki dekade 1980-an, fenomena ini makin meluas, yang semula hanya
menggejala pada masyarakat perkotaan dan di kalangan kelas sosial menengah atas saja,
makin lama merambah keluarga yang tinggal di kampung dan tak lagi terbatas pada kelas
sosial menengah atas saja. Masih beruntung anak-anak yang terlahir di kampung, karena
ketika mereka beranjak besar, komunikasi dengan orang-orang dewasa di sekelilingnya
kemudian memaksa mereka memahami bahasa daerah dan menggunakannya.
Kini, makin jarang kita temui anak ABG dan remaja jaman sekarang yang masih fasih
berbahasa daerah. Kompasianer yang berprofesi sebagai dosen di Makasar, Muhammad
Armand, beberapa waktu lalu pernah menuliskan kegalauannya atas fenomena ini dalam
bentuk puisi yang menarik. Bahkan, anak-anak di kota besar – terutama yang belajar di
sekolah dengan labelisasi “bertaraf internasional” – jauh lebih mahir ber-casciscus dalam
bahasa Inggris. Satu dekade belakangan ini bahkan bahasa Mandarin pun turut jadi
bagian dalam kurikulum di sekolah tertentu. Entah sekarang mungkin bahasa Korea yang
banyak diajarkan di sekolah menengah. Serbuan budaya dan industri Korea membuat
sebagian dari kita merasa perlu untuk belajar bahasa Korea. Mungkin demi menyambut
tamu. Padahal, kalau merujuk pada pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”,
semestinya tamu lah yang belajar bahasa dan adat istiadat tuan rumah.
Sayangnya, bahasa daerah yang diajarkan di beberapa SD, justru lebih menjadi momok
ketimbang menyenangkan. Semisal anak diminta menyebutkan kosa kata bahasa daerah
dari anak hewan tertentu. Saya ambil contoh, dalam pelajaran bahasa Jawa, kadang anak
diminta mengisi titik-titik dari kalimat “Anake kebo arane ...... lan anake kucing arane ......”
(Anak kerbau disebut ...... dan anak kucing disebut ......) atau pertanyaan “Anake gajah
arane opo?” (Anak gajah disebut apa?). Atau kalau itu menyangkut tetumbuhan :
“Kembange suruh arane opo?” (Bunga sirih disebut apa?).
Hai..., hello..., pentingkah itu dalam percakapan sehari-hari? Pentingkah anak yang baru
belajar bahasa daerah mengerti istilah itu? Kalau belajar bahasa daerah tingkat advance,
bolehlah halitu ditanyakan. Memangnya, berapa kali sehari atau seminggu atau sebulan
atau bahkan setahun seorang anak bertemu anak kerbau, anak gajah? Seberapa sering
mereka memetik bunga sirih yang bahkan mungkin tak ditemuinya di halam rumah? Apa
salahnya kalau mereka bisa bercakap-cakap dalam bahasa Jawa, tetapi ketika harus
mengatakan “anak kucing” mereka tetap menyebutnya “anak kucing”? Bukan suatu
kesalahan yang fatal bukan?
Sebuah kabupaten di Jawa Tengah beberapa waktu lalu bahkan dihebohkan dengan buku
LKS bahasa daerah Jawa yang isinya dinilai sangat tidak pantas dibaca anak SD kelas 3,
karena mengajarkan kosa kata “nyimeng” dalam sebuah bacaan bertajuk resep awet muda
seorang kakek. Wah, ini bahasa daerah yang bahkan merusak moral dan pikiran anak.
Berharap bahasa daerah akan tetap hidup dalam keseharian masyarakat dengan
mengandalkan lembaga pendidikan formal, rasanya sama sekali tak memadai. Berapa SKS
siswa mendapat pelajaran bahasa daerah dalam seminggu? Apalagi kalau setelah itu tidak
dipraktekkan dalam keseharian di rumah tangga. Saya pernah membaca sebuah majalah
– bertahun-tahun lalu – satu keluarga yang lama tinggal di Amerika dan putra mereka pun
bersekolah di sana, tetap mengajarkan bahasa Jawa pada anaknya lengkap dengan tata
bahasa kromo. Kalau tak salah, setelah kembali ke Indonesia, putra mereka menjadi anak
berprestasi secara akademik tapi juga tak menjadi asing bergaul dengan teman-teman
dan warga sekitar. Sungguh salut dengan pola asuh keluarga itu.
Sehari-hari saya masih menggunakan bahasa daerah dengan Ibu dan keluarga saya, baik
keluarga dekat maupun keluarga jauh, juga dengan sebagian teman kantor. Ternyata tulisan itu cukup menarik banyak pembaca dan komentar. Memang, yang
mampir ke tulisan itu umumnya mereka yang orang Jawa Timur. Tapi ada pula
Kompasianer yang bukan orang Jawa ikut membacanya, mereka mengerti maksud tulisan
saya hanya saja dalam memberikan komentar dalam bahasa Indonesia. Saya menilai
animo pembaca bukan hanya dari jumlah click, tetapi tulisan berjudul “Cak Fathonah
Pancen Mokong Tenan” itu ternyata banyak menuai vote dan sempat nangkring di
kolom “Menarik” selama 2 hari. Jumlah share ke media sosial juga lumayan banyak. Saya
mencium aroma kerinduan akan bahasa daerah di kalangan pembaca Kompasiana. Maka
ketika ada tulisan berbahasa daerah, mereka pun mampir dan bertukar komentar dan
candaan. Ini menggembirakanbuat saya : bukan karena tulisan saya dibaca, tapi karena
kami bisa saling berdialog dalam bahasa daerah.
Sedikit usulan saya untuk Admin Kompasiana dan himbauan untuk rekan lainnya : mari kita ikut melestarikan bahasa daerah. Sudahlah kita ini tak bisa menarikan
tariannya, tak bisa menembangkan lagu-lagu daerahnya, tak bisa memasak makanan
khasnya, sekedar berkomunikasi dalam bahasa daerah saja masa tidak bisa? Bukankah
butir ke-3 Soempah Pemoeda 1928 tidak menyatakan “Kami bangsa Indonesia,
berbahasa satu, bahasa Indonesia”? The founding fathers negeri ini sudah berpkirian
visioner dengan memilih diksi : “menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia”. Artinya : beliau-beliau ingin bahasa daerah tetap eksis, dengan dipersatukan
oleh bahasa Indonesia. Untuk Admin, sekiranya saya boleh usul : kalau ada kanal bahasa
Inggris, kenapa tidak dipertimbangkan ada kanal bahasa daerah? Untuk rekan : menulis dalam bahasa daerah, siapa takut?! Yuuk..., mareee...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar