A. Riwayat
Hidup al-Kindi
Al-Kindi, nama lengkapnya Abdul
Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin
al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Al-Kindi
dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan
terhormat. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang di
kalangan masyarakat Arab dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. (Ahmad
Fuad al-Ahwani, 1993 : 50 ).
Setelah dewasa
al-Kindi pergi ke Baghdad dan mendapat perlindungan dari khalifah al- Ma’mun
(813-833 H) dan khalifah al-Mu’tasim (833-842 H). Ibnu Nabatah berkata bahwa karya-karya
al-Kindi telah menghiasai kerajaan al-Mu'tashim. Al-Kindi menganut paham
Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Selain belajar filsafat ia juga
menekuni dan ahli dalam bidang ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam astrologi,
ilmu pasti, ilmu seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, politik dan
matematika. Penguasaanya terhadap filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam
jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pula dinilai pantas dalam
menyadang gelar Failasuf al-‘Arab (filosof berkebangsaan Arab).
Ia juga diundang oleh khalifah
al-Makmun untuk mengajar pada baitul hikmah, ia sangat terkenal dan berjasa
dalam gerakan penerjemahan dan seorang pelopor yang memperkenalkan tulisan
Yunani, Suriah dan India kepada dunia Islam. ( Hasyimsyah Nasution, 1999 : 15 ).
Menurut
Harun Nasution, kalau al-Kindi menganut
faham Mu'tazilah yang mengedepankan rasio dan filsafat dalam pemahaman
keislamannya. Selain itu pula kaum
Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan
pendapat-pendapatnya terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu Logika
sangat menarik perhatiannya, karena menjunjung tinggi berfikir logis. Memang
Mu’tazilah lebih mengutamakan akal pikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan
Hadits atau disebut dengan تقديم العقل على النص. Hal ini berbeda dengan golongan Ahlus Sunnah, yang
mendahulukan al-Qur’an dan al-Hadits kemudian baru akal pikiran atau disebut
dengan تقديم النص على العقل ( Sahilun A. Nasir, 2010
: 167 ).
Maka disamping itu zaman al-Kindi adalah
zaman penerjemahan buku-buku Yunani yang memberikan pengaruh besar terhadap
pola piker al-Kindi dimana ia turut aktif aktif dalam kegiatan terjemahan. (
Harun Nasution 1973, : 14 ).
Al-Kindi
mengarang buku-buku dan menurut keterangan ibn al-Nadim buku-buku yang
ditulisnya berjumlah 241 dalam filsafat, logika, matematika, musik, ilmu jiwa
dan lain sebagainya. Corak filsafat al-Kindi tidak banyak yang diketahuinya
karena buku-buku tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman
belakangan ini orang menemukan kurang lebih 20 lebih risalah al-Kindi dalam
tulisan tangan.
Jumlah
karangan al-Kindi yang sebenarnya sukar ditentukan, karena dua sebab. Pertama
penulis-penulis biografi tidak sepakat penuturannya tentang jumlah karangannya tersebut.
Ibnu an-Nadim dan al-Qafthi menyebutnya 50 buah, sedang sebagian dari
karangan-karangan tersebut telah hilang atau musnah. Kedua karangan-karangannya
yang sampai kepada kita ada yang memuat karangan – karangannya yang lain (
Ahmad Hanafi, 1990 : 73 ).
Dalam keterangan sejarah yang lain,
al-Kindi sendiri mengarang buku-buku dan menurut keterangan Ibn Al-Nadim
buku-buku yang ditulisnya berjumlah 241 berupa filsafat, logika, ilmu hitung,
astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, music, matematika, dan
sebagainya. Dalam The Legacy of Islam
kita baca bahwa bukunya tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
banyak mempengaruhi Roger Bacon. Al-Kindi meninggal pada tahun 973 M. ( Harun
Nasution, 1973 : 14 )
Unsur-unsur
filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah :
a.
Aliran Pytagoras tentang matematika sebagai
jalan kea rah flsafat.
b.
Pemikiran-pemikiran Aristoles dalam soal-soal
fisika dan metafisika. Meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang
qodim-nya alam.
c.
Pemikiran-pemikiran Plato dalam hal-hal
kejiwaan.
d.
Pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles
bersama-sama dalam soal estetika.
e.
Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam
hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-Nya.
f.
Aliran Mu’tazialah dalam memuja kekuatan akal
manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an. ( Poerwantana dkk, 1987 :
129 ).
Sehingga
menurut kami, bisa dikatakan bahwa karangan-karangan al-Kindi ada yang tidak otentik
atau yang tidak bersumber dari dirinya atau kebanyakan mengutip serta identik
dengan karya filsafat yang lain.
Beberapa karya tulis al-Kindi antara
lain yang cukup popular antara lain: Fi al-Falsafah al-Ula; kitab al-Hassi
‘ala Ta’allum al-Falsafah; Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul;
risalat fi Ta’lif al-A’dad; kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il
al-Mantaiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabiyyat; Kammiyat Kutub
Aristoteles; Fi al-Nafs. ( Ahmad Fuad
Al-Ahwani, 1999 : 68 ).
Beberapa
karya tulis al-Kindi telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa
Latin, yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Oleh
karena itu, beralasan kiranya Cardini menganggap al-Kindi sebagai salah seorang
dari dua belas pemikir terhebat.
Ketika dinasti Abbasyiah dipimpin
oleh al-Mutawakkil, Madzhab Asy'ariyah dijadikan sebagai madzhab resmi negara.
Suasana ini dimanfaatkan oleh kempok anti filsafat. Atas hasutan Muhammad dan
Ahmad, dua orang putera Ibnu Syakir,
diantara mereka ada yang mengatakan bahwa orang yang berfilsafat adalah orang
yang kurang hormat kepada agama, al-Mutawakkil mengatakan bahwa al-Kindi didera
dan perpustakaannya yang bernama Kindiyah disita. Tetapi tidak lama kemudian perpustakaanya tersebut dikembalikan kepada
pemiliknya ( Hasyimsyah Nasution 1999 : 16 ).
Tentang
kapan al-Kindi meninggal tidak ada satu keterangan pun yang pasti. Agaknya
menentukan tahun dan wafatnya sama sulitnya dengan menentukan tahun
kelahirannya dan siapa saja guru-guru yang mendidiknya. Mustafa ‘Abd Al-Raziq
cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massingon menunjuk
tahun 260 H, suatu pendapat yang diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino.
Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi sesudah berusia 80
tahun atau lebih sedikit.
B. Pemikiran Filsafat al-Kindi
Sebenarnya
pemikiran-pemikiran al-Kindi tidak hanya berfokus pada bidang filsafat saja.
Karangan-karangan al-Kindi bermacam-macam, diantaranya filsafat, logika, musik,
aritmatika dan alin-lain. Dan al-Kindi tidak hanya membicarakan
persoalan-persoalan filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya,
tetapi ia lebih tertarik dengan definisi-definisi dan penjelasan kata-kata serta lebih mengutamakn ketelitian pemakaian
kata-kata dari pada menyelami problema filsafat. Pada umumnya karangan-karangan
al-Kindi berbentuk ringkas dan tidak mendalam. ( Dedi Supriyadi, 2009 : 53 ).
Sesuai
dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus memilih, maka ia sendiri
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti
pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan sebaik-baiknya. (
Poerwantana dkk, 1987 : 103-104 ).
Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat dalam berbagai aspek antara lain:
1) Pemaduan Filsafat dan Agama ( Talfiq
)
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan
antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara
keduanya tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang
kebenaran. Dalam pemikiran al-Kindi pemaduan antara agama dengan filsafat atau
akal dengan wahyu dinamakan dengan talfiq. Sedangkan kebenaran itu satu
tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan
serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang
bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudlarat. Hal seperti ini juga
dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan
memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak
senang dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, al-Kindi juga membawakan
ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan
anjuran Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas
segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya yang berkaitan dan
yang dikaitkan dengan anjuran tersebut adalah sebagai berikut.:
a) Surat Al-Nasyr [59]: 2
………Maka ambillah untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
b)
Surat Al-A’raf [7]: 185
dan Apakah mereka tidak
memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita
manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?
c) Surat Al-Ghasiyat [88]: 17-20
Maka apakah
tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaiamana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana
ia dihamparkan.
d) Surat Al-Baqarah [2]: 164
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal yang
berlayar di laut membawa apa yang mereka berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi
yang sudah mati dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat
tanda-tanda keesaan dan kebenaran bagi kaum yang memikirkan.
Pemaduan
antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut: ilmu agama
merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran
filsafat saling bersesuaian; menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam
agama. ( H. Sirajuddin Zar, 2004 : 44
- 47. )
Dapat disimpulkan bahwa filsafat dengan agama bukanlah hal yang
bertentangan, melainkan hal yang saling melengkapi antara agama khususnya agama
Islam dengan filsafat. Kemudian dapat kami simpulkan pula bahwa lafadz-lafadz
al-Qur'an di atas seperti اعتبر yang terdapat dalam jumlah فاعتبروا, kemudian lafaz نظر pada jumlah ينظر, ينظرون, dan lafaz عقل pada jumlah يعقلون, merupakan lafadz-lafadz yang rata-rata
dpata diartikan dengan berfikir, maka tentunya berfikir merupakan suatu
indikator dari filsafat.
2 ) Filsafat
Ketuhanan
Adapun mengenai ketuhanan, bagi al-Kindi Tuhan adalah wujud yang sempurna
dan tidak didahului wujud lain. Wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain
disebabkan wujud-Nya. Tuhan adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan
tidak ad zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan
tidak pula melahirkan.
Mengenai keterangan di atas, dapat kita lihat dalam firman Allah swt :
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu. ( QS. Al-Hadid
[57] : 3 )
Yang dimaksud dengan: yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala
sesuatu ada, yang akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah,
yang Zhahir ialah yang nyata adanya karena banyak bukti- buktinya dan
yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal.
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah
dan mahiah. Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam
alam, tetapi Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk.
Tuhan juga tidak mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus dan spesies.
Tuhan adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal
(Al-Haqqul Wahid). Ia semata-mata satu. Hanya Ia-lah yang satu maka
selain dari tuhan mengandung arti banyak.
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah
Pencipta dan bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi
al-Kindi bukan kekal di zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia
lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang
Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini
adalah emanasi dari Yang Maha Satu ( Harun
Nasution, 1978 : 16.)
Filsafat ketuhanan yang
dikemukakan al-Kindi adalah adanya pencipta dan penggerak alam semesta yang
menjadi bukti adanya tuhan, sehingga adanya tuhan dapat dibuktikan dengan dalil
yang empiris atau bukti yang dapat ditunjukkan yaitu :
a. Dalil baharu alam
b. Dalil keragaman dan kesatuan
c. Dalil pengendalian alam. ( Hasyimsyah Nasution, 1999 : 19 )
Al-Kindi menulis,
keteraturan, ketertiban dan keselerasan alam raya ini adalah wujud dari
pengaturan-Nya yang bijak dan sempurna. Sungguh kehidupan alam yang serba
tertaur dan bijak telah cukup ( sebagai bukti tentang ada-Nya ) bagi mereka
yang mampu melihat dengan pikiran jernih. ( al-Kindi, al-Ibanah an al-Illah
al-Fa-ilah al-Qaribah li al-Kauni wa al-Fasad, dalam Abu Riddah, Rasa’il
al-Kindi al-Falsafiyyah, Mesir al-I’timad, berdasar pada kutipan A. Khudori
Soleh, 2013 : 104 ).
Argument
terakhir ini, oleh sebagian filsuf, dianggap sebagai dalil paling efektif untuk
membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat islam, dalil ini juga
digunakan oleh Ibnu Rusyd ( 1126 – 1196 M ), sedangkan dalam tradisi filsafat
Barat digunakan oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 M ). ( A. Khudori Soleh, 2011
: 104 ).
Tentang hakikat Tuhan, al-kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang
haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya dan tidak akan pernah tiada
selama-lamanya, yang ada sejak awal dan akan senantiasa ada selama-lamanya.
Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain, dan
wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan
dengan perantaraan-Nya ( A. Mustafa, 2004 : 109 ).
Kemudian mengenai sifat-sifat Tuhan, tidak berbeda dengan konsep
Mu’tazilah. Dalam karyanya yang terkenal, al-Falsafah al-Ula, al-kindi membuat
uraian dan pembelaan yang mendalam tentang pandangannya soal sifat – sifat
Tuhan ini. Ada dua sifat Tuhan yang penting yang harus diuraikan yaitu sifat Maha
Esa ( wahdaniyah ), dan sifat ketidak samaannya dengan Makhluk hidup ( Mukhalafatun
lil Hawadits ), tentang sifat esa, al-Kindi menjelaskannya dengan dua cara,
yaitu pertama, dengan cara membedakan antara esa mutlak dengan esa
metaforis. Esa mutlak adalah keesaan yang esensial yang tidak bisa dibagi,
sedangkan esa metaforis adlah keesaan yang ada pada objek-objek terindera yang
memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu sehingga keesaannya tidak
bersifat mutlak tetapi berganda. ( A. Khudori Soleh, 2013 : 105 ).
Sekalipun demikian, apabila kita melihat pendapat Mu’tazilah itu sendiri,
memang kelompok ini meniadakan dan mengosongkan sifat-sifat Tuhan dari zat-Nya.
Golongan ahlus-Sunnah menyebut aliran Mu’Tazilah dengan sebutan al-Mu’aththilah.
Mula-mula sebutan ini diberikan kepada aliran Jahamiah, karena aliran ini juga
mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya. Apabila kita melihat dalam kamus
bahasa arab bahwa aththala mempunyai arti mengosongkan, menterlantarkan
dan membiarkan tidak terpakai. ( Adib Bisri, ,1999 : 506 ).
Karena sifat-sifat Tuhan
dipersoalkan oleh kaum Mu’tazilah, maka mereka disebut al-Mu’aththilah ( Hasan
Basri. 2007 : 43 )
Dari keterangan di atas, dapat kami simpulkan bahwa sekalipun Mu’tazilah
mengosongkan Tuhan dari Sifat-Nya, maka al-Kindi membuat suatu statement
terhadap penjelasan tersebut untuk mendukung teori filsafat tentang sifat-sifat
Tuhan.
Sedangkan
dalam ranah metafisika, di dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap
oleh panca indera. Benda-benda itu merupakan juz’iah ( particular ).
Yang penting bagi filsafat, kata al-Kindi, bukan juz’iah yang tak
terhingga banyaknya itu, tetapi hakikat yang terdapat dalam juz’iah itu,
yaitu kulliah ( universals ). Tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat,
hakikat sebagai Juz’i dan ini disebut aniah (انية )
dan hakikat sebagai kulli ( حقيقية كلية ) dan ini disebut mahiah ( ماهية ),
yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
Mengenai kosmologi, al-Kindi berpendapat bahwa
alam ini dijadikan dari tiada ( creation ex nihilio ) atau dalam bahasa
arabnya adalah الايجاد من العدم. Allah tidak hanya menjadikan
alam, tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya. Serta menjadikan sebagiannya
menjadi sebab bagi yang lain. Al-kindi pula berpendapat bahwa alam ini terdiri
dari dua bagian, yakni alam yang terletak di bawah bulan dan alam yang
merentang tinggi sejak dari falak bulan sampai ke ujung alam. Jenis alam yang
pertama terdiri dari empat unsur, ayitu air, api, udara dan tanah. Keempat
unsur tersebut berkualitas dingin, panas, kering dan basah yang merupakan
perlambang dari perubahan, pertumbuhan dan kemusnahan. Sedangkan pada alam
jenis kedua tidak dijumpai keempat unsur yang dimaksud, karena itu tidak
mengalami perubahan dan kemusnahan dengan kata lain kedua alam tersebut abadi
sifatnya.
Adapun bumi ini
terletak di bawah falak bulan , merupakan pusat alam. Sedangkan falak-falak
atau benda-benda langit menurut al-Kindi adalah makhluk hidup, memiliki indera
penglihatan dan pendengaran sebagai indera yang diperlukan untuk dapat berfikir
dan membedakan. Falak-falak tersebut merupakan sebab terdekat bagi planet bumi.
Disebabkan gerak lingkaran yang kontinu ke sisi-sisi tertentu, maka timbullah
berbagai kegiatan, kehidupan, dan makhluk dipermukaan bumi ini, seperti tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan manusia. ( Muhammad Athif al-Iraqi, Tajdid fi al-Madzhab
al-Falsafiyyah wa al-Kalamiyyah, Kairo : Dar al-Ma’arif, 1979. Hal. 90-91
dalam kutipan Hasyimsyah Nasution 1999 : 21 )
3) Filsafat Jiwa
Al-Quran dan
Hadits Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan tegas tentang roh dan jiwa. Bahkan
Al-Quran sebagai pokok sumber ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak
akan mengetahui hakikat ruh karena itu urusan Allah bukan Manusia. Sebagaimana
firman Allah swt :
Dan mereka
bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". ( QS. Al-Isra [17] : 85 )
Dengan
adanya hal tersebut, kaum filosof Muslim membahas jiwa berdasarkan pada
falsafat jiwa yang dikemukakan para filosof
Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Al-Kindi
juga mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam
dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting , sempurna, dan mulia. Subtansinya
berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya
dengan cahaya dan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan
berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan illahi sementara
badan mempunyai hawa nafsu dan marah. Dan perbedaannya jiwa menentang keinginan
hawa nafsu.
Pada jiwa
manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu ( yang terdapat di perut ), daya
marah ( terdapat di dada ), dan daya pikir ( berputar pada kepala ). ( H.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. I, Hal. 59-60 ).
Mengenai daya berfikir, bagi al-Kindi akal dibagi tiga :
- Akal yang bersifat potensial ( الذى بالقوة العقل )
- Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual ( العقل الذى خرج من القوة الى الفعل )
- Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas ( العقل الذى نسميه الثانى ).
Akal yang
bersifat potensial tidak dapat keluar menjadi aktual jika tidak ada kekuatan
yang menggerakkanya dari luar. Karena itu ada lagi satu macam akal yang
mempunyai wujud diluar roh manusia. Yakni akal yang selamnya dalam aktualitas (
العقل الذى بالفعل ابدا ). Akal yang selamanya dalam aktualitas inilah yang
menggerakkan potensial menjadi aktual. ( Harun Nasution, 1978
: 15 ).
Jiwa atau roh
selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan
pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan maka roh
memperoleh kesenangan yang sebentulnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna.
Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal di
atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan
dapat melihat Tuhan. Disinilah letak kesenangan abadi dari roh. ( Hana
al-Fahury dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, Beirut :
Muassasah li al-Tahb’ah wa an-Nasyr 1963, hal. 366 – 367 dalam kutipan
Hasyimsyah Nasution, 1999 : 23.)
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan
bahwa antara roh dengan jasad, keduanya mempunyai fungsi masing-masing ketika
bersatu, akan tetapi ketika roh keluar dan berpisah dari jasad atau badan, maka
fungsi kesatuan itu menjadi hilang dan tinggallah roh yang berfungsi untuk
melanjutkan kehidupannya ke alam kebenaran atau ke alam akal. Dalam penjelasan dari al-Qur’an ataupun al-Hadits, roh
tersebut akan pergi ke alam akhirat untuk mempertanggung jawabkan segala
amalnya ketika bersatu dengan jasad.
4) Filsafat Moral
Menurut al-Kindi, filsafat harus
memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib
menempuh hidup susila.Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan
keutamaan.Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles),
melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda
oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (paradoks Socrates).Manusia
harus menjauhkan diri dari keserakahan.Milik memberatkan jiwa.Socrates dipuji
sebagai contoh zahid (asket).Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan
agama (tijarat bi al-din) untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
Negara. Ia merasa diri korban kelaliman
Negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa, filsafat menghiburnya dan
mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmah dalam keseimbangan
sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata Negara. Sebagai filosof, al-Kindi
prihatin, kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara
wajar.Karena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah stoa dan Socrates. ( Hasyimsyah Nasution, 1999 : 23-24 )
5)
Filsafat Kenabian
Tentang
kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi
manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam
ghaib dan ketuhanan melalui wahyu.
Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk alam ghaib yang sempurna seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh
manusia biasa.
Keterbatasan
pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan
keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang
dicapai oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya
pula dapat diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan
kepada nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi
kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof. ( Yunasril Ali, 1991 : 33-34
).
Dalam
realitasnya kita sudah mengikuti bahwa Nabi sudah pasti mempunyai derajat lebih
tinggi sekalipun sama-sama berbentuk wujud manusia. Tentunya dilihat dari segi
keilmuan, kemulyaan dan interaksinya dengan Tuhan, sehingga ada perintah atau
keistimewaan yang dimiliki oleh para Nabi disamping hal di atas, misalnya
mukjizat yang jenisnya berbeda-beda tiap para Nabi-Nya, begitu pula dilihat
dari segi dima’shumnya atas segala perbuatan dan segala dosanya.
3) Tinjauan terhadap al-Kindi
Al-Kindi merupakan
filosof pertama yang menyelami persoalan filsafat dan keilmuan dengan menggunakan
bahasa arab, seperti halnya dengan Descartes dengan bahasa perancis, meskipun
berbeda waktu, corak pikiran dan luasnya pembicaraan. Sebagai orang yang
mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari masa-masa sebelumnya, maka ia harus
memperkenalkan pikiran-pikiran tersebut kepada dunia arab – Islam tentang
berbagai persoalan yang sebenarnya terasa asing sama sekali oleh mereka. Dari segi ini, maka al-Kindi menghadapi
kesulitan yang besar, akan tetapi ia dapat mengatasinya dengan baik.
Pertama ia menggunakan istilah-istilah arab untuk pengertian kata-kata
Yunani. Kalau terpakasa memakai kata-kata Yunani asli, maka disebutkan - juga
istilah arabnya, seperti kata-kata filsafat dan hikmah, fantasia dan
mushawarah, hule dan thin ( tanah ) atau maddah. Untuk ketelitian pemakaian
istilah – istilah, maka ia harus menulis risalah-risalah yang khusus untuk itu,
dan risalah ini merupakan buku tertua yang sampai kepada kita. Kadang-kadang ia
mengambil kata-kata arab kuno yang hamper hilang dari pemakaian, seperti
kata-kata ais untuk arti wujud. Definisi-definisi yang dibuatnya teliti, tepat
dan ringkas. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa ia tahu benar bahasa arab dan
dapat menguasainya.
Kedua ia telah meneliti persoalan – persoalan filsafat yang meskipun telah
dibicarakan oleh filosof-filosof sebelumnya, namun ia tetap mempertahankan
kepribadiannya danpendapatnya sendiri. Karenanya, maka ia tidak sekedar
mengutip dari Aristoteles dan Plato atau filosof-filsof Yunani lainnya, Tetapi
ia juga memilih mana yang sesuai dengan pikirannya sendiri dan kepercayaan
agamanya.
Dalam filsafat fisika misalnya, ia mengikuti Aristoteles, meskipun tidak
menyetujuinya dalam soal qadimnya alam beserta alasan-alasannya. Demikian pula
dalam soal kejiwaan ia mengesampingkan Aristoteles dan lebih suka memeilih
Plato, karena pikiran – pikiran Plato ini bersifat rohani ( idealis ) yang
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Tentang tuhan dan sifat-Nya, maka al-Kindi bersikap sebagai orang Islam
Mu’tazilah. Kalau dicari persamaannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya
maka kita bisa menunjuk aliran stoa, dimana aliran ini menganggap Tuhan sebagai
dzat pengatur dan pemelihara Alam, yang Berakal, dimana bekasnya Nampak dengan
jelas pada alam.
Akan tetapi memang haruslah diakui, al-Kindi tidak mempunyai system
filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang yang pertama
membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak Arab keislaman.
Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah al-Farabi. ( Ahmad Hanafi, 1990 :
79 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar