Selasa, 27 Desember 2016

filsafat Al-Kindi



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW2N4sJGHwRm4kFZiY6khLNsfXb2AIA0cV2BRTPdeYPhr3hOInoqWYGgmTIJqG3Wrgi-JHXVPUWhMlY8Qo8YEDcD6lq97e14mYOBy3wA7wkZDDLUDMjA1GzkqbX3iUPkuOzebcA3hthSHo/s1600/al+kindi.jpg



A.    Riwayat Hidup al-Kindi
Al-Kindi, nama lengkapnya Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang di kalangan masyarakat Arab dan  bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. (Ahmad Fuad al-Ahwani, 1993 : 50 ).
Setelah dewasa al-Kindi pergi ke Baghdad dan mendapat perlindungan dari khalifah al- Ma’mun (813-833 H) dan khalifah al-Mu’tasim (833-842 H).  Ibnu Nabatah berkata bahwa karya-karya al-Kindi telah menghiasai kerajaan al-Mu'tashim. Al-Kindi menganut paham Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Selain belajar filsafat ia juga menekuni dan ahli dalam bidang ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, politik dan matematika. Penguasaanya terhadap filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof  terkemuka. Karena itu pula dinilai pantas dalam menyadang gelar Failasuf al-‘Arab (filosof berkebangsaan Arab).
Ia juga diundang oleh khalifah al-Makmun untuk mengajar pada baitul hikmah, ia sangat terkenal dan berjasa dalam gerakan penerjemahan dan seorang pelopor yang memperkenalkan tulisan Yunani, Suriah dan India kepada dunia Islam. ( Hasyimsyah Nasution, 1999 : 15 ).
Menurut Harun Nasution,  kalau al-Kindi menganut faham Mu'tazilah yang mengedepankan rasio dan filsafat dalam pemahaman keislamannya. Selain  itu pula kaum Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu Logika sangat menarik perhatiannya, karena menjunjung tinggi berfikir logis. Memang Mu’tazilah lebih mengutamakan akal pikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan Hadits atau disebut dengan  تقديم العقل على النص. Hal ini berbeda dengan golongan Ahlus Sunnah, yang mendahulukan al-Qur’an dan al-Hadits kemudian baru akal pikiran atau disebut dengan تقديم النص على العقل  ( Sahilun A. Nasir, 2010 : 167 ).
  Maka disamping itu zaman al-Kindi adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani yang memberikan pengaruh besar terhadap pola piker al-Kindi dimana ia turut aktif aktif dalam kegiatan terjemahan. ( Harun Nasution 1973, :  14 ).
Al-Kindi mengarang buku-buku dan menurut keterangan ibn al-Nadim buku-buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam filsafat, logika, matematika, musik, ilmu jiwa dan lain sebagainya. Corak filsafat al-Kindi tidak banyak yang diketahuinya karena buku-buku tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman belakangan ini orang menemukan kurang lebih 20 lebih risalah al-Kindi dalam tulisan tangan.
Jumlah karangan al-Kindi yang sebenarnya sukar ditentukan, karena dua sebab. Pertama penulis-penulis biografi tidak sepakat penuturannya tentang jumlah karangannya tersebut. Ibnu an-Nadim dan al-Qafthi menyebutnya 50 buah, sedang sebagian dari karangan-karangan tersebut telah hilang atau musnah. Kedua karangan-karangannya yang sampai kepada kita ada yang memuat karangan – karangannya yang lain ( Ahmad Hanafi, 1990 : 73 ).
Dalam keterangan sejarah yang lain, al-Kindi sendiri mengarang buku-buku dan menurut keterangan Ibn Al-Nadim buku-buku yang ditulisnya berjumlah 241 berupa filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, music, matematika, dan sebagainya. Dalam The Legacy of Islam kita baca bahwa bukunya tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon. Al-Kindi meninggal pada tahun 973 M. ( Harun Nasution, 1973 : 14 )
Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah :
a.          Aliran Pytagoras tentang matematika sebagai jalan kea rah flsafat.
b.          Pemikiran-pemikiran Aristoles dalam soal-soal fisika dan metafisika. Meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qodim-nya alam.
c.          Pemikiran-pemikiran Plato dalam hal-hal kejiwaan.
d.         Pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal estetika.
e.          Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-Nya.
f.           Aliran Mu’tazialah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an. ( Poerwantana dkk, 1987 : 129 ).
Sehingga menurut kami, bisa dikatakan bahwa karangan-karangan al-Kindi ada yang tidak otentik atau yang tidak bersumber dari dirinya atau kebanyakan mengutip serta identik dengan karya filsafat yang lain.
Beberapa karya tulis al-Kindi antara lain yang cukup popular antara lain: Fi al-Falsafah al-Ula; kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafah; Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul; risalat fi Ta’lif al-A’dad; kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Mantaiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabiyyat; Kammiyat Kutub Aristoteles; Fi al-Nafs. ( Ahmad Fuad Al-Ahwani, 1999 : 68 ).
Beberapa karya tulis al-Kindi telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin, yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Oleh karena itu, beralasan kiranya Cardini menganggap al-Kindi sebagai salah seorang dari dua belas pemikir terhebat.
Ketika dinasti Abbasyiah dipimpin oleh al-Mutawakkil, Madzhab Asy'ariyah dijadikan sebagai madzhab resmi negara. Suasana ini dimanfaatkan oleh kempok anti filsafat. Atas hasutan Muhammad dan Ahmad, dua orang putera  Ibnu Syakir, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa orang yang berfilsafat adalah orang yang kurang hormat kepada agama, al-Mutawakkil mengatakan bahwa al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama Kindiyah disita. Tetapi tidak lama kemudian perpustakaanya tersebut dikembalikan kepada pemiliknya ( Hasyimsyah Nasution 1999 : 16 ).
Tentang kapan al-Kindi meninggal tidak ada satu keterangan pun yang pasti. Agaknya menentukan tahun dan wafatnya sama sulitnya dengan menentukan tahun kelahirannya dan siapa saja guru-guru yang mendidiknya. Mustafa ‘Abd Al-Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massingon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang diyakini oleh Hendry  Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.

B. Pemikiran Filsafat al-Kindi
Sebenarnya pemikiran-pemikiran al-Kindi tidak hanya berfokus pada bidang filsafat saja. Karangan-karangan al-Kindi bermacam-macam, diantaranya filsafat, logika, musik, aritmatika dan alin-lain. Dan al-Kindi tidak hanya membicarakan persoalan-persoalan filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya, tetapi ia lebih tertarik dengan definisi-definisi dan penjelasan kata-kata  serta lebih mengutamakn ketelitian pemakaian kata-kata dari pada menyelami problema filsafat. Pada umumnya karangan-karangan al-Kindi berbentuk ringkas dan tidak mendalam. ( Dedi Supriyadi, 2009 : 53 ).
Sesuai dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus memilih, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan sebaik-baiknya. ( Poerwantana dkk, 1987 : 103-104 ).

Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat dalam berbagai aspek antara lain:
1)      Pemaduan Filsafat dan Agama ( Talfiq )
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Dalam pemikiran al-Kindi pemaduan antara agama dengan filsafat atau akal dengan wahyu dinamakan dengan talfiq. Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudlarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak senang dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya yang berkaitan dan yang dikaitkan dengan anjuran tersebut adalah sebagai berikut.:
a)       Surat Al-Nasyr [59]: 2



………Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.

b)      Surat Al-A’raf [7]: 185



dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?
c)      Surat Al-Ghasiyat [88]: 17-20



Maka apakah tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaiamana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
d)     Surat Al-Baqarah [2]: 164


Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang mereka berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi yang sudah mati dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebenaran bagi kaum yang memikirkan.
Pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut: ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama. ( H. Sirajuddin Zar, 2004 : 44 - 47. )
Dapat disimpulkan bahwa filsafat dengan agama bukanlah hal yang bertentangan, melainkan hal yang saling melengkapi antara agama khususnya agama Islam dengan filsafat. Kemudian dapat kami simpulkan pula bahwa lafadz-lafadz al-Qur'an di atas seperti اعتبر yang terdapat dalam jumlah فاعتبروا, kemudian lafaz نظر pada jumlah ينظر, ينظرون, dan lafaz عقل pada jumlah يعقلون, merupakan lafadz-lafadz yang rata-rata dpata diartikan dengan berfikir, maka tentunya berfikir merupakan suatu indikator dari filsafat.
2 )  Filsafat Ketuhanan
Adapun mengenai ketuhanan, bagi al-Kindi Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ad zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan.
Mengenai keterangan di atas, dapat kita lihat dalam firman Allah swt :
 
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. ( QS. Al-Hadid [57] : 3 )

Yang dimaksud dengan: yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, yang akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, yang Zhahir ialah yang nyata adanya karena banyak bukti- buktinya dan yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal.
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam alam, tetapi Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus dan spesies. Tuhan adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal (Al-Haqqul Wahid). Ia semata-mata satu. Hanya Ia-lah yang satu maka selain dari tuhan mengandung arti banyak.
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu ( Harun Nasution, 1978 : 16.)
Filsafat ketuhanan yang dikemukakan al-Kindi adalah adanya pencipta dan penggerak alam semesta yang menjadi bukti adanya tuhan, sehingga adanya tuhan dapat dibuktikan dengan dalil yang empiris atau bukti yang dapat ditunjukkan yaitu :
a.          Dalil baharu alam
b.         Dalil keragaman dan kesatuan
c.          Dalil pengendalian alam. ( Hasyimsyah Nasution, 1999 : 19 )
Al-Kindi menulis, keteraturan, ketertiban dan keselerasan alam raya ini adalah wujud dari pengaturan-Nya yang bijak dan sempurna. Sungguh kehidupan alam yang serba tertaur dan bijak telah cukup ( sebagai bukti tentang ada-Nya ) bagi mereka yang mampu melihat dengan pikiran jernih. ( al-Kindi, al-Ibanah an al-Illah al-Fa-ilah al-Qaribah li al-Kauni wa al-Fasad, dalam Abu Riddah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, Mesir al-I’timad, berdasar pada kutipan A. Khudori Soleh,  2013 : 104 ).
Argument terakhir ini, oleh sebagian filsuf, dianggap sebagai dalil paling efektif untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat islam, dalil ini juga digunakan oleh Ibnu Rusyd ( 1126 – 1196 M ), sedangkan dalam tradisi filsafat Barat digunakan oleh Immanuel Kant ( 1724 – 1804 M ). ( A. Khudori Soleh, 2011 : 104 ).
Tentang hakikat Tuhan, al-kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya, yang ada sejak awal dan akan senantiasa ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaraan-Nya ( A. Mustafa, 2004 : 109 ).
Kemudian mengenai sifat-sifat Tuhan, tidak berbeda dengan konsep Mu’tazilah. Dalam karyanya yang terkenal, al-Falsafah al-Ula, al-kindi membuat uraian dan pembelaan yang mendalam tentang pandangannya soal sifat – sifat Tuhan ini. Ada dua sifat Tuhan yang penting yang harus diuraikan yaitu sifat Maha Esa ( wahdaniyah ), dan sifat ketidak samaannya dengan Makhluk hidup ( Mukhalafatun lil Hawadits ), tentang sifat esa, al-Kindi menjelaskannya dengan dua cara, yaitu pertama, dengan cara membedakan antara esa mutlak dengan esa metaforis. Esa mutlak adalah keesaan yang esensial yang tidak bisa dibagi, sedangkan esa metaforis adlah keesaan yang ada pada objek-objek terindera yang memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu sehingga keesaannya tidak bersifat mutlak tetapi berganda. ( A. Khudori Soleh, 2013 : 105 ).
Sekalipun demikian, apabila kita melihat pendapat Mu’tazilah itu sendiri, memang kelompok ini meniadakan dan mengosongkan sifat-sifat Tuhan dari zat-Nya. Golongan ahlus-Sunnah menyebut aliran Mu’Tazilah dengan sebutan al-Mu’aththilah. Mula-mula sebutan ini diberikan kepada aliran Jahamiah, karena aliran ini juga mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya. Apabila kita melihat dalam kamus bahasa arab bahwa aththala mempunyai arti mengosongkan, menterlantarkan dan membiarkan tidak terpakai. ( Adib Bisri, ,1999 : 506 ).
 Karena sifat-sifat Tuhan dipersoalkan oleh kaum Mu’tazilah, maka mereka disebut al-Mu’aththilah ( Hasan Basri. 2007 :  43 )
Dari keterangan di atas, dapat kami simpulkan bahwa sekalipun Mu’tazilah mengosongkan Tuhan dari Sifat-Nya, maka al-Kindi membuat suatu statement terhadap penjelasan tersebut untuk mendukung teori filsafat tentang sifat-sifat Tuhan.
Sedangkan dalam ranah metafisika, di dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indera. Benda-benda itu merupakan juz’iah ( particular ). Yang penting bagi filsafat, kata al-Kindi, bukan juz’iah yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi hakikat yang terdapat dalam juz’iah itu, yaitu kulliah ( universals ). Tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, hakikat sebagai Juz’i dan ini disebut aniah (انية  ) dan hakikat sebagai kulli ( حقيقية كلية ) dan ini disebut mahiah ( ماهية  ), yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
 Mengenai kosmologi, al-Kindi berpendapat bahwa alam ini dijadikan dari tiada ( creation ex nihilio ) atau dalam bahasa arabnya adalah الايجاد من العدم. Allah tidak hanya menjadikan alam, tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya. Serta menjadikan sebagiannya menjadi sebab bagi yang lain. Al-kindi pula berpendapat bahwa alam ini terdiri dari dua bagian, yakni alam yang terletak di bawah bulan dan alam yang merentang tinggi sejak dari falak bulan sampai ke ujung alam. Jenis alam yang pertama terdiri dari empat unsur, ayitu air, api, udara dan tanah. Keempat unsur tersebut berkualitas dingin, panas, kering dan basah yang merupakan perlambang dari perubahan, pertumbuhan dan kemusnahan. Sedangkan pada alam jenis kedua tidak dijumpai keempat unsur yang dimaksud, karena itu tidak mengalami perubahan dan kemusnahan dengan kata lain kedua alam tersebut abadi sifatnya.
Adapun bumi ini terletak di bawah falak bulan , merupakan pusat alam. Sedangkan falak-falak atau benda-benda langit menurut al-Kindi adalah makhluk hidup, memiliki indera penglihatan dan pendengaran sebagai indera yang diperlukan untuk dapat berfikir dan membedakan. Falak-falak tersebut merupakan sebab terdekat bagi planet bumi. Disebabkan gerak lingkaran yang kontinu ke sisi-sisi tertentu, maka timbullah berbagai kegiatan, kehidupan, dan makhluk dipermukaan bumi ini, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. ( Muhammad Athif al-Iraqi, Tajdid fi al-Madzhab al-Falsafiyyah wa al-Kalamiyyah, Kairo : Dar al-Ma’arif, 1979. Hal. 90-91 dalam kutipan Hasyimsyah Nasution 1999 : 21 )
3)  Filsafat Jiwa
Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan tegas tentang roh dan jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai pokok sumber ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat ruh karena itu urusan Allah bukan Manusia. Sebagaimana firman Allah swt :


Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". ( QS. Al-Isra [17] : 85 )

Dengan adanya hal tersebut, kaum filosof Muslim membahas jiwa berdasarkan pada falsafat jiwa yang dikemukakan para filosof  Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting , sempurna, dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan illahi sementara badan mempunyai hawa nafsu dan marah. Dan perbedaannya jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu ( yang terdapat di perut ), daya marah ( terdapat di dada ), dan daya pikir ( berputar pada kepala ). ( H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. I, Hal. 59-60 ).
            Mengenai daya berfikir, bagi al-Kindi akal dibagi tiga :
  1. Akal yang bersifat potensial ( الذى بالقوة العقل )
  2. Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual ( العقل الذى خرج من القوة الى الفعل )
  3. Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas ( العقل الذى نسميه الثانى ).
Akal yang bersifat potensial tidak dapat keluar menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkanya dari luar. Karena itu ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia. Yakni akal yang selamnya dalam aktualitas ( العقل الذى بالفعل ابدا ). Akal yang selamanya dalam aktualitas inilah yang menggerakkan potensial menjadi aktual. ( Harun Nasution, 1978 : 15 ).
Jiwa atau roh selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan maka roh memperoleh kesenangan yang sebentulnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah letak kesenangan abadi dari roh. ( Hana al-Fahury dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, Beirut : Muassasah li al-Tahb’ah wa an-Nasyr 1963, hal. 366 – 367 dalam kutipan Hasyimsyah Nasution, 1999 : 23.)
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa antara roh dengan jasad, keduanya mempunyai fungsi masing-masing ketika bersatu, akan tetapi ketika roh keluar dan berpisah dari jasad atau badan, maka fungsi kesatuan itu menjadi hilang dan tinggallah roh yang berfungsi untuk melanjutkan kehidupannya ke alam kebenaran atau ke alam akal. Dalam penjelasan dari al-Qur’an ataupun al-Hadits, roh tersebut akan pergi ke alam akhirat untuk mempertanggung jawabkan segala amalnya ketika bersatu dengan jasad.
4) Filsafat Moral
Menurut al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila.Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan.Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (paradoks Socrates).Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan.Milik memberatkan jiwa.Socrates dipuji sebagai contoh zahid (asket).Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama (tijarat bi al-din) untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara.  Ia merasa diri korban kelaliman Negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa, filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmah dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan  tata Negara. Sebagai filosof, al-Kindi prihatin, kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar.Karena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah stoa dan Socrates. ( Hasyimsyah Nasution, 1999 : 23-24 )

5)  Filsafat Kenabian
Tentang kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam ghaib dan ketuhanan  melalui wahyu. Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk alam ghaib yang sempurna  seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia biasa.
Keterbatasan pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang dicapai oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya pula dapat diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof. ( Yunasril Ali, 1991 : 33-34 ).
Dalam realitasnya kita sudah mengikuti bahwa Nabi sudah pasti mempunyai derajat lebih tinggi sekalipun sama-sama berbentuk wujud manusia. Tentunya dilihat dari segi keilmuan, kemulyaan dan interaksinya dengan Tuhan, sehingga ada perintah atau keistimewaan yang dimiliki oleh para Nabi disamping hal di atas, misalnya mukjizat yang jenisnya berbeda-beda tiap para Nabi-Nya, begitu pula dilihat dari segi dima’shumnya atas segala perbuatan dan segala dosanya.

3) Tinjauan terhadap al-Kindi
Al-Kindi merupakan filosof pertama yang menyelami persoalan filsafat dan keilmuan dengan menggunakan bahasa arab, seperti halnya dengan Descartes dengan bahasa perancis, meskipun berbeda waktu, corak pikiran dan luasnya pembicaraan. Sebagai orang yang mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari masa-masa sebelumnya, maka ia harus memperkenalkan pikiran-pikiran tersebut kepada dunia arab – Islam tentang berbagai persoalan yang sebenarnya terasa asing sama sekali oleh mereka. Dari segi ini, maka al-Kindi menghadapi kesulitan yang besar, akan tetapi ia dapat mengatasinya dengan baik.
Pertama ia menggunakan istilah-istilah arab untuk pengertian kata-kata Yunani. Kalau terpakasa memakai kata-kata Yunani asli, maka disebutkan - juga istilah arabnya, seperti kata-kata filsafat dan hikmah, fantasia dan mushawarah, hule dan thin ( tanah ) atau maddah. Untuk ketelitian pemakaian istilah – istilah, maka ia harus menulis risalah-risalah yang khusus untuk itu, dan risalah ini merupakan buku tertua yang sampai kepada kita. Kadang-kadang ia mengambil kata-kata arab kuno yang hamper hilang dari pemakaian, seperti kata-kata ais untuk arti wujud. Definisi-definisi yang dibuatnya teliti, tepat dan ringkas. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa ia tahu benar bahasa arab dan dapat menguasainya.
Kedua ia telah meneliti persoalan – persoalan filsafat yang meskipun telah dibicarakan oleh filosof-filosof sebelumnya, namun ia tetap mempertahankan kepribadiannya danpendapatnya sendiri. Karenanya, maka ia tidak sekedar mengutip dari Aristoteles dan Plato atau filosof-filsof Yunani lainnya, Tetapi ia juga memilih mana yang sesuai dengan pikirannya sendiri dan kepercayaan agamanya.
Dalam filsafat fisika misalnya, ia mengikuti Aristoteles, meskipun tidak menyetujuinya dalam soal qadimnya alam beserta alasan-alasannya. Demikian pula dalam soal kejiwaan ia mengesampingkan Aristoteles dan lebih suka memeilih Plato, karena pikiran – pikiran Plato ini bersifat rohani ( idealis ) yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Tentang tuhan dan sifat-Nya, maka al-Kindi bersikap sebagai orang Islam Mu’tazilah. Kalau dicari persamaannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya maka kita bisa menunjuk aliran stoa, dimana aliran ini menganggap Tuhan sebagai dzat pengatur dan pemelihara Alam, yang Berakal, dimana bekasnya Nampak dengan jelas pada alam.
Akan tetapi memang haruslah diakui, al-Kindi tidak mempunyai system filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang yang pertama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak Arab keislaman. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah al-Farabi. ( Ahmad Hanafi, 1990 : 79 ).














Tidak ada komentar:

Posting Komentar