A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi
adalah Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij.
Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada
tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia, dan Ibunya
berkebangsaan Turki. Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih
dikenal sebagau Abu Nasrh (Abunaser), sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil
dari nama kota Farab. Tempat ia dilahirkan
Untuk memulai karir
dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Baghdad, yang pada waktu
itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar selama kurang lebih dua
puluh tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmau pengetahuan
kepada: Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibnu Yunus
untuk belajar ilmu mantiq (logika)
Dari Baghdad Al-Farabi
mencba pergi ke Harran sebgai salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil.
Disana ia berguru dengan Yohana Ibnu Hailan, namun tidak lama kemudian, ia
meninggalkan kot ini untuk kembali ke kota Baghdad. Di sini kembali mendalami
filsafat. Ia juaga mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), kemudia ia
mendapatkan predikat Guru Kedua,
maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu logika ke dalam
kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya yang dialami oleh aristoteles sebagai Guru Pertama, ia (Aristoteles)orang yang
pertama yang menemukan ilmu logika.
Pada tahun 350 H. (941
M), Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini, kedudukan Al-Farabi
sangat diperhatikan secara baik oleh Saif Al-Dullah, kholifah dinasti Hamdan di
Allepo (Hallab). Sampai wafat Al-Farabi berusia 80 tahun. Pengalaman selama di
istana Siaf Al-Dullah, Al-Farabi dapat mengembangkan ilmunya dengan para
sastrawan, ahli bahasa, para penyair dan ilmu lainnya. Menjadilah ia filosuf
yang terkenal pada masanya di istana ini. Dalam kepandaian Al-Farabi di bidang
filsafat, membawa pengaruh terhadap kemajuan pemerintah Saif Al-Dullah,
sebagaimana Al-Kindi yang dapat mencermelangkan pemerintahan Al Mu’tasyim.
Riwayat lain yang dikemukakan oleh Dr. Fuad Al Ahwani bahwa Al-Farabi masuk ke Istana
pemerintahan Sai Al-Dullah dengan pakaina sufi.
Pemikiran Al-Farabi pun
datang banyak dari para ahli. Diantaranya Massignon (ahli masalah ketimuran
dari Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan merupan filosuf Islam yang pertama,
dan Al-Kindi adalah orang yang membuka pintu filsafat Ynani bagi dunia Islam,
akan tetapi persoalan-persoalan yang memuaskan. Akan tetapi Al-Farabi telah
menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap. Bahkan Al-Farabi dapat
memerankan peranan penting di dunia Islam. Dalam pengembangan keilmuannya agar
dapat meluas, ia telah memberikan keilmuannya kepada , Ibnu Sina, Ibnu Rasyd
serta filosuf-filosuf lainnya.
Karya Al-Farabi bila
dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah dengan
jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek yang berbentuk risalah dan
sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam
pembicaraannya. Sebagai karangan Al-Farabi masih diketemukan dibeberapa
perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya.
Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab
besar atau makalah-makalah, namun juga memebri ulasan-ulasan dan penjelasan
terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy, dan Plotinus
Al-Farabi yang dikenal
sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan,
seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu
alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak karya yang
ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak diketahui seperti
karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berbentuk
risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar
yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang masih
dapat dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang
lebih 30 judul saja. Diantar judul karyanya adalah sebagai berikut:
1. Al-Jam baina Ra ‘ayay
Al-Hikimain Aflathun wa Arishur;
2. Thaqiq Ghardh Aristhu
fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3. Syara Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4. At-Ta’liqat;
5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
6. Kitab Tahsil As-Sa’adah;
7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8.‘Uyun Al-Masa’i;
9. Ara’ Ahl Al-Madinah
Al-Fadhilah;
10. Maqalat fi Ma’ani Al-Aql;
11. Ihsa Al-Ulum wa
At-Ta’rif bi Aghradita;
12. Fushul AlHukm;
13. Risalah Al-Aql;
14. As-Syiasah
Al-Madaniyah;
15. Al-Masa’il Al-Falsafiyah wwa Al-Ajwibah Anha.[1
B. Filsafat Al-Farabi
Al-Farabi telah
berhasil mengrekonsiliasikan beberapa
ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga juda antara
agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang
mempercaya kesatuan filsafat.
Al-Farabi berkeyakinan
bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya satu, yaitu sama-sama
mencari kebenaran yang satu, karena tujuan filsafat ialah memikirkan kebenaran
sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Justru
semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya
pada lahirnya. Upaya ini terealisasikan ketika ia mendamaikan pemikiran
Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang populer al-Jam ‘bain al-Ra’yai
al-Hakimain. Dan antara filsafat dan agama
Cara Al-Farabi
menyatukan kedua filosof di atas ialah dengan mengajukan pemikiran
masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Setiap dalam pembicaran
masalah idea yang menjadikan bahan bahasan polemik antara Aristoteles dan
Plato. Filosof yang disebut pertama yang tidak dapat membenarkannya karena,
menurutnya, alam idea hanya terdapat dalam pikiran. Sedangkan fiosof yang
disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan
kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan
menggunakan takwil apabila ia menemukan pertentangan pikiran antara keduanya.
Kemudian, ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aritoteles mengakui alam rohani
yang teradapat diluar alamini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani
tersebut dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui
adanya idea-idea pada Zat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi
telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara Aristoteles. Padahal,
sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan ala
idea terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi
merekonsiliasikan antara plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan
Aristototeles.
Disamping itu telihat
pula usaha Al-Farabi merekonsialisasikan antara agama dan filsafat. Menurutnya
para filosof Muslim menyakini, Al-Quran dan hadits adalah hak dan benar dan
filsafat juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu. Justru
itu ia tegaskan bahwa antra keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok
dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal Aktif, hanya yang berbeda
cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya Akal Mustafad, sedangkan dalam
agama perantaranya wahyudisampaikan kepada nabi-nabi. Kalau ada perlawanan, itu
hanya dari segi lahirnya dan tidak sampai menembus batinnya. Untuk
menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan tidak
meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memberikan kebenaran dan agama
juga menjelaskan kebenaran. Oleh kaena itu, Al-Farabia tidaklah berbeda
kebenarannya yang disampaikan para nabi dengan kebenaran yang dimajukan
filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini
tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.
a. Pemikiran Tentang Tuhan
Al-Farabi dalam
pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan anatara filsafat Aristoteles dan
Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab
pertama bagi segala yang ada. Bentuk filsafat neo-Platonisme sendiri praktis
telah melaksanakan penyatuan filsafat plato dan Aristoteles dalam dirinya.
Konsep Al-Farabi ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran
Islam. Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalilWajibul
al-Wujud dan Mumkin al-Wujud ( De Boar, 1954:162).
Dengan demikian
Al-Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
1) Wujud yang nyata dalam
sendirinya (Wajibul-wujud li dzatihi).
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya.
Esensinya adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak
terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya, wujud yang apabila diperkirakan tidak
ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi
semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
2) Wujud yang mumkin atau
wujud yang nyata karena lainnya
(wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada,
kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa
wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang
mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib)karena matahari.
Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebabyang pertama (Tuhan),
karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyatadan
yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnyarangkaian wujud yang mumkin
itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena
sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri
Tuhan adalah wujud yang
sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalu ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan
tidak sempurna tidak lagi, berarti adanya Tuhan bergantung pada sebab yang
lain. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia, yang tidak berawal dan
tidak berakhir, sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali
dan tidak memerlukan yang lain. Wujud-Tuhan adalah Zat yang paling azali dan
yang selalu ada. Wujud-Nya tidak terdiri dar Matter (benda) dan from (bentuk/surah),
yaitu dua bagian pada makhluk. Karena kesempurnaan itu, maka tidak ada sesuatu
yang sempurna yang terdapat pada selain-Nya.
Tuhan itu Maha Esa,
tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila ada hal-hal yang membatasi berarti
Tuhan tidak Esa lagi. Maka Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali denagn
batasan yang akan memberikan pengertian pada manusia, sebab suatu batasan
berarti suatu penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan
atau digunakan pengertian zat dan bentuk, seperti memberi definisi kepada
sesuatu benda atau barang.
b. Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya
tentang ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan
ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat
(substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah
tunggal. Juga zat Tuhan menjadi obyek pemikiran sendri (ma’qul), karena yang
mengahalang-halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula.
Jadi ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak
membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan Zat-Nya sendiri tetapi cukup
dengan Zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pikiran
Tuhan juga adalah Zat
yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa memerlukansesuatu yang lain untuk dapat
mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan
diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah
zatnya sendiri juga. Dengan demikian, maka ilmu dan zat yang mempunyai ilmu
adalah satu juga.
Jadi menurut Al-farabi
tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi) Tuhan, sifat
Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab
segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal.
Begitu pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu
itu adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi
sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.
c. Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan
adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi,
dalil teologi dan kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil
tersebut(ontologi, teologi dan kosmologi) untuk samapai kepada kesimpulan
adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Diantar
dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut
istilah metofisika.
Dalil kosmologi melihat
alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab akibat.
Pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti pada satu sebab pertama,
karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat
yang tidak berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi dalam membuktikan adanya
Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini.
Segala sesuatu yang
ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama asda sebagai
kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada sebagai keharusan
disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya
ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang
lain ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.
Pembuktian dengan dalil
kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil yang sederhana
mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan
yang mengharuskan adanya Tuhan.
Al-Farbi manemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam( yang
bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti ateri dam Maha
sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan buakanlah pencipta alam, melaikan
Penggerak Pertama (prime cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles.
Sementara dalam doktrin ortodok Islam (al-mutakallimin), Allah adalah
Pencipta (shani, Agent), dari menciptakan dari tiada menjadi ada (ceiro
ex nihillo).. unutk mengislamkan doktrin ini Al-Farabim, juga filosof lainnya
mencari bantuan kepada Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian,
Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah pencipta.. dengan arti,
Allah menciptakan alam semenjak alam azali, energi alam berasal dari energi
yang kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu,
menurut filosof muslim, kun Allah yang temaktub dalam Al-Quran di tunjukan
kepada syai (sesuatu) bukan kepada Iasyai (nihil).
Telah dikemukakan bahwa
Allah adalah Aql, Aqil, dan Ma’qul.
Ia sebut Allah adalah Aql karena Allah pencipta dan pengatur alam, yang
beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa cacat sedikitpun,
mestilah suatu subtansi yang memiliki daya berpikir yang luar biasa. Oleh sebab
itu, cara Allah menciptakan alam ialah dnegan ber-ta’aqqul terhadap
zat-Nya dengan proses sebagai berikut.
Allah Mahasempurna, ia
tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena terlalu rendah bagi-Nya
untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna. Allah cukup
memikirkan – membedakan antara term aql dan fikr dalam terminologi Al-Quran—zat-Nya, maka
terciptalah energi yang maha dasyat secara pancaran dan dari energi inilah
terjadinya akal pertama (jugamemandat dalam bentuk materi). Akal pertama
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya menghasilkan
langit pertama. Akal kedia berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketiga dan
berpikir tentang dirinya menghasilkan
bintang-bintang. Akal ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
keempatdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus. Akal keempat
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kelima dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Yupiter. Akal kelima berpkir tentang Allah menghasilkan akal
keenamdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars. Akal keenam berpikir
tentang Allah menghasilkan Akal ketujuh dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Matahari. Akal ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Venus. Akal kedelapan
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesembilan dan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Merkuri. Akal kesembilan berpikir tentang Allah
menghasilkan Akal kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Rembulan.
akal kesepuluh, karena adanya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi
menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan metri
pertama menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Akal
kesepuluh ini disebut dengan Akal Fa’al (Akal aktif) atau wahib al-shuwar
(pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Akal-akal dan
planet-planet itu terpancar secara beruntutan dalam waktu yang sama. Hal ini
dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya, dissebutkan,
menghasilkan daya atau energi.
Kalau pada Allah hanya
terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya, sedangkan pada akal-akal erdapat
objek pemikiran Allah dan akal-akal.
Di sini yang perlu
dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini?
Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi
Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan mahiah,
tetapi juga lebih jauhlagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia
berhubungan dengan yang tidak Esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan
secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak
sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya
timbul satu, yakni Akal pertamaberfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan
banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan antara Ynag Esa dan yang banyak.
Emanasionisme Al-Farabi
ini jelas cangkokan doktrin Platonius yang dikombinasikan dengan sistem
kosmologi Platomeus sehingga menimbulkan kesab bahwa Al-Farabi hanya
mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnyake dalam bahasa Arab. Menurut
Nurcholish Majid, Al Farabimempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama
paha ketuhanannya memberikan kesan tauhid.
Filsafat kenabian
Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupanya untuk
mengadakannya komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi
ini disebabkan adanya pengingkaran
terhadap eksistensi kenabian secara filosofis
oleh Ahmad Inu Ishaq Al-Ruwandi (w. Akhir abad III H). Tokoh yang
berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya
mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad Saw. Khususnya
kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut:
a.
Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah mengaruniakan
akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan
beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan baikm dan buruk.
b. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan
tempat-tempat lain.
c.
Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
d. Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat).
Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena
mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang
paling fasahah dikalangan orang Arab.
Dalam suasana yang
demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan tersebut. Karena
kenabian adalah asa sentral dalam agama, apabila ia telah batal, maka akibatnya
membawa kebatalan pada agama itu sendiri.
Al-farabi adalah
filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir
tidak ada penambahan oelh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini
didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu politik
dan etika.
Menurut Al-Farabi,
manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni
penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara
pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi
dan dapt mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan
oleh nabi.
Telah dimaklumi bahwa
ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi waktu tidur dan waktu bangun. Dengan
kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan keduanya hanya
terletak pada tingkatannya dan tidak mengenai esensinya. Mimoi yang benar tidak
lain adalah satu tanda dari tanda kenabian.
Menurut Al-Farabi, bila
kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, oobjek indrawi dari luar tidak
akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al.
Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada
halangan bainya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal
Fa’al pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian maka ia dapat nubuwwat
terhadap perkara-perkara ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang
nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika
berhubungan dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran
dalam bentuk wahyu. Wahyutidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal
Fa’al (Akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril.
Sementara itu filosof dapat berkomnikasi dengan Allah melalui akal perolehan
yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkapn
hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai di sini terkesan
bahwa kenabian telah menjadi suatu yang dapat diusahakan (muktasabat).
Akan tetapi, jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini
disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan
melalui Akal mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi
dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga
tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh
(Jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads.
Tidak ada akal yang lebih kuat
daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu. Sementara
itu, filosof dapat berhubungan dengan akal kesepuluh adalah usaha sendiri,
melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad
(perolehan) lebih rendah dari pada nabi yang mempunyai akal meteriil dan hads.
Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof itu nabi.
Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya ia (nabi) tetap
manusia Allah.
Dari sisi pengetahuan
dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antara filosof dan
nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran
wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya
sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril).
Demikian pula dengan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat
terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan
mukjizat sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas
telihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan
menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di
“pentas” filsafat Islam.
Manusia menurut
Al-Farabi seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi Rabi’, bersifat sosial
yang tidak mugkin hidup sendiri-sendiri. Makhluk yang berkecenderungan alami
untuk hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam
mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Hal ini karena manusia tidak
mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama denagn
pihak lain.
Pendapat Al-Farabi
tentang tujuan hidup bermasyarakat memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya
sebagai seorang muslim, di samping pengaruh tradisi Plato dan Aristoteles yang
mengaitkan politik dengan moralitas dan etika.
Al-Farabi membagi
masyarakat ke dalam dua macam, yakni
a. Masyarakat sempurna,
masyarakat sempurna diklasifikasikan menjadi:
1. Masyarakat sempurna
besar, adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling
membantu serta kerja sama (perserikatan bangsa-bangsa).
2. Masyarakat sempurna
sedang, adalah masyarakat yang terdiri atas satu bangsa yang menghuni disatu
wilayah dari bumi ini (negara nasional).
3. Masyarakat sempurna
kecil, adalah masyarakat yang terdiri atas para penghunisatu kota (negara
kota).
b. masyarakat tidak
sempurna atau belum sempurna, adalah penghidupan sosial di tingkat desa,
kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tuga bentuk penghuni
sosial itu, keluarga merupakan yang paling tidak sempurna.
Perkembangan dari
tidak/kurang sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farabi bertingkat-tingkat.
Mula-mula, masyarakat manusia berupa masyarakat yang terbesar, lalu menjadi
masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju ke masyarakat kota yang sempurna
dan berpemerintahan. Al-Farabi berpandangan bahwa masyarakat sempuna itu ialah
masyarakat yang mengandung keseimbangan diantara unsur-unsrunya. Perbedaannya
hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang
lebih besar maka dalam diri manusia unsur-unsur itu lebih dikuasai dan
diperintah oleh pusatnya.
Pandangan ini didasari
oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak sama satu sama lainnnya,
disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim dan lingkungan tempat
mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh
dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi atau kecendurangan
serta adat kebiasaan.
Berbeda dengan
Al-Farabi, Ibu Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai pandangan berbeda-bedanya
manusia dengan sesamanya adalah “anugrah Tuhan” yang dijadikannya untuk
memelihara keselamatan hidup dan perkembangan kemajuan hidupnya.jika semua
manusia bersamaan dalam segala hal, pasyilah membawa kemusnahan mereka.
Dalam hal filsafat
kenegaraan, Al-Farabi membedakan negara menjadi liama macam:
1. Negara utama (al-Madinah
al-Fadhilah ) yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan.
Menurutnya negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh rosul dan kemudian
oleh para filosof.
2. Negara orang-orang
bodoh ( al-Madinah al-Jahilah ), yaitu negara yang penduduknya
tidak mengenal kebahagiaan.
3. Negara orang-orang
fasiq ( al-Madinah al-Fasiqah ) yakni negara yang penduduknya mengenal
kebahagiaan, Tuhan dan akal ( fa’alal-Madinah al-Fadilah ) tetapi
tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh.
4. Negara yang
berubah-ubah( al-Madinah al-Mutabaddilah ) ialah yang penduduknya semula
mempunyai fikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama tetapi
kemudain mengalami kerusakan.
5. Negara sesat (
al-Madinah al-Dallah ), yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi
pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetpi kepala negaranya
beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian menipu orang banyak
denagn ucapan dan perbuatan.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja
yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti
paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang
bersumber pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang utama adalah
negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik adalah ilmu yang meneliti berbagai
bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan
manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara hidup yang
dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenanya)
tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan
sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang
nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan
dijadikan pedoman hidup.
Ada dua macam prolem
politik yaitu:
1. Pemerintah atas dasar
penegakkan terhadap tindakan-tindakan yang sadar, cara hidup, disposisi positif
dasar ini dapat djadikan upaya untuk mendapat kebahagiaan. Pemerintah atas
dasar demikian disebut pemerintah utama, dimana sebagai ciri kota-kota dan
bangsa-bangsanya tunduk terhadap pemerintah.
2. Pmerintah atas dasar
penegakkan terhadap tndakan-tindakan dan watak-watak dalam rangka mencapai
sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu kebahagiaan, maka muncul beraneka
ragam bentuk pemerintah, apabila yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap
sebagai pemerintah yang rendah, jiak mengejar kehormatan, disebut pemerintah
kehormatan, dan pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
Tujuan lain dari filsafat politik Al-Farabi adalahpembentukan
pemimpin-pemimpin politik yang handalpemimin politik memiliki fungsi sebagai
dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya jiwa masyarakat
akan selalu sehat terutama dalam meraih sesuatu yang baikdan menghindar dari
yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga nilai-nilai yang
mampu mengembangkan masyarakat.
jiwa manusia berasal
dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan
keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing
keduany mempunyai sebstansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa
binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqal, berasal dari alam ilahi, sedanglan jasad
berasal dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi Al-Farabi, jiwa
manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a. Daya al-Muharrikat (gerak),
daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b. Daya al-Mudrikat (mengetahui),
daya ini yang medorong untuk merasakan dan berimajinasi.
c. Daya al-Nathiqat (bepikir),
daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri
dari tiga tingkatan berikut.
1. Akal Potensial (al-Hayulani), ialah akal yang baru
mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
dari materinya.
2. Akal Aktual (al-Aql bi al-fil), akal yang dapat
melepaskan arti0arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyau wujud
dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah
dalam bentuk actual.
3. Akal Mustafad (al-Aql al-Mustaafad),
akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan
materi dan mempunyai kesanggupan untuj mengadakan komunikasi dengan akal
kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara
utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka
jiwa ini, menurut Al-Farabi, akan kembali kea lam nufus, (alam kejiwaan) dan abadidalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup
pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang
kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia
kembali kealam nufus (alam kejiwaan)
dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan
Allah dan tidak pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.
Telah disebutkan bahwa
akal, menurut Al-Farabi, ada tiga jenis, pertama, Allah sebagai Akal; kedua,
akal-akal dalam filsafatemanasi satu
sampai sepuluh dan ketiga, akal yang terdapat dalam diri manusia. Akal
pada jenis pertama dan kedua tidak berfisik (imateri/rohani) dan tidak
menempati fisik, namun antara keduanya terdapat perbedaanyang sangat tajam.
Allah sebagai Akal adalah Pencipta dan Esasemutlak-mutlaknya, Mahasempurna dan
tidak mengandung pluralitas sebagai zat yang Esa, maka objek ta’aqqul Allah hanya satu, yakni Zat-Nya. Jika diandaikan
objek ta’aqul Allah lebih dari atu, maka pada pada diri Allah terjadi
pluralitas. Hal ini bertentangan dengan prinsip tauhid. Demikian juga Allah
Maha Sempurna tidak berhubungan dengan selain diri-Nya. Jika dikatkan Allah
berhubungan dengan selain diri-Nya, berarti ia berhubungan dengan yang tidak
sempurna. Hal ini juga merusak citra tauhid. Atas dasar inilah Al-Farbi
menjelaskan bahwa materi asal deiciptakan Allah dari sesuatu yang sudah
ada dan diciptakan secara emanasi sejak azali, karena sifat Khalik Allah ada
sejak Ia wujud (bukan berarti Allah didahului dari tidak ada) dan semenjak itu
pula ia langsung menciptaka. Dari hasil ta’aqqul-Nya muncul dua, berarti Allah mempunyai dua sisi
yang pluralitas.
Adapun jenis akal yang
kedua yakni akal-akal pada filsafat emanasi, akal pertama esa pada zatnya,
tetapi dalam dirinya mengandung keenakpotensial. Ia diciptakan oleh Allah
sebagai Akal maka objek ta’aqqul-Nya (juga akal-akal lainnya) tidaklah
lagi satu, tetapi sudah dua; Allah sebagai Wajib al-Wujud dan dirinya
sebagai mukmin al-wujud. Telah
dikemukakan ada sepuluh akal dan sembilan planet. Akal kesepulul (Akal Fa’al),
disamping melimpahkan kebenaran kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi
mengurusi bumu dan segala isinya. Juga telah disebutkan bahwa pendapat
Al-Farabi tentang sembilan planet terpengaruh oleh Atronomi Yunani saat itu
yang mengatakan sembilan planet.
Akal jenis ketiga ialah
akal sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini
juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akat ini bertingkat-tingkat,
terdiri dari akal potensial, akal aktual, dan akal mustafad. Akal yang
disebutkan terakhir.ini yang dimiliki para filosof yang dapat menangkap cahaya
yang dipancarkan Allah ke dalam materi melalui Akal kesepuluh (Akal Fa’al)
Demikian tentang uraian
Al-Farabi, kendati ia terpengaruh oleh filsafat Aristoteles, plato, dan
platonius, namun ia telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga
dapat dikatakanhasil filsafatnya sendiri. Selain itu, ia juga menciptaka
filsafat sendiri yang belum dibicarakan oleh filosof Yunani. Dengan demikian,
ia telah menghasilkan filsafat Islam yang mempunyai watak dan ciri khas
tersendiri. Secara umum, dapat dilihat bahwa filsafat Al-Farabi begitu kompleks
sehingga dapat dibicarakan oleh para filosof muslim sesudahnya hampir sudah
pernah disinggung oleh pewaris logikaAristoteles ini. Melihat ketajaman pisau
analisis dan kepiawaian serta kedalaman filsafatnya, sangat pantas ia menerima
segudang anugrah sanjungan dari berbagai pihak, seperti Al-Farabi alah filosof
muslim terbesar tanpa tanding, Al-Farabi adalah filosof Muslim dalam arti yang
sesungguhnya, Al-Farabu adalah peletak dasar filsafat Islam, dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar