Senin, 26 Desember 2016

FILSAFAT ISLAM AL-GHAZALI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNNYA


FILSAFAT ISLAM AL-GHAZALI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNNYA

Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.

Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

B.       Al-Ghazali

1.      Biografi dan Pendidikannya

Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.[2]

Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar,[3]ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.[4]

Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.

Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.[5] Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.[6]

Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan.[7]

Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi  dan terobosan yang ia lakukan antara lain:

a.    Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.

b.    Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.

c.    kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.

d.   tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.

e.    Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya  dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia  berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.

f.     Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.[8]

2.      Karya-Karya Al-Ghazali

Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.[9]

Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.

a.    Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)

Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.

b.    Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).

c.    Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).

Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :

                                 i.      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

                               ii.      Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja,

                             iii.      Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.[10]

d.      Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam),

e.       Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an),

f.       Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),

Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab Tahafut  al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.

g.      Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan),

h.      Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),

i.        Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).

j.        Al-Mustadhhir,

k.      Hujjat Al-Haq (dalil yang benar),

l.        Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad-din),

m.    Kimiya As-sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),

n.      Al-Basith (fiqh),

o.      Al-Wasith (fiqh),

p.      Al-Wajiz (fiqh),

q.      Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),

r.        Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),

s.       Al-Mustasfa (ushul fiqh),

t.        Al-Mankhul (ushul fiqh),

u.      Al-Muntaha fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),

v.      Mi’yar Al-‘ilmi,

w.    Al-Maqashid (yang dituju),

x.      Al-Madnun bihi ’ala Ghairi Ahlihi,

y.      Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan),

z.       Mahku An-Nadhar,

3.      Pemikiran Filsafat Al-Ghazali

a.          Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

b.          Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[11]

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[12]

c.         Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[13]

4.      Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :

”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”[14]

Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.[15]

Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:

1.    Filosof Materialis (Dhariyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.

2.    Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)

Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.

3.    Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)

Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.

Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:

1.         Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,

2.         Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,

3.         Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,

4.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,

5.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,

6.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,

7.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,

8.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),

9.         Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,

10.     Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),

11.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya

12.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,

13.     Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,

14.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,

15.     Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,

16.     Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,

17.     Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,

18.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,

19.     Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,

20.     Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. [16]

Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :

b.      Alam semesta dan semua substansi qadim.

Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.

Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.[17] 

Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.[18]

Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.[19]

Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.[20]

Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.[21]

c.       Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.

Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.

Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.[22]

Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.

Dalil pertama:

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)

Dalil kedua :

قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم

Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).

Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).  Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :

Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.” [23]

Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.[24]

d.      Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.

Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.

Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).[25]

Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan  telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses  yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.[26]

Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :

”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[27]

Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya  menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.[28]

Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi  karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.[29]

e.       Pandangannya terhadap Ilmu

Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.

 Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :

”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”[30]

Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :

1.      Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.

2.      Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).

3.      Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).

4.      Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).

Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.

Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.[31]       

C.           Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang.

Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof yaitu; (1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah, dan (3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.

DAFTAR  PUSTAKA

Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), Surabaya: Terbit Terang, t.t

----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960

----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960

-----------------, lihat “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928

Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981

Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986

Nasution, Harun,  Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983

Rusyd, Ibnu,  Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: CV ROSDA, 1988

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hal. Vii

[2] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),  hal. 215

[3] Mu’askar adalah suatu lapangan luas di dekat Kota Naishabur yang di dalamnya didirikan barak-barak militer oleh Nizam al-Muluk.

[4] Ibid.

[5] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 40.

[6] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hal.148

[7] Ibid.

[8] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali…,  hal.10

[9] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal.97

[10]  H. A. Mustofa berpendapat, berdasarkan kutipan dari Kitab Al Munqids min Ad Dhalal al Ghazali, ia berpendapat bahwa: “ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metode untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al-Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.” Tulisan ini mempunyai maksud bahwa; al Ghazali memberikan jalan kepada para pemikir baik filosof, teologi, dan para sufi di kala itu, agar kembali kepada ajaran agama yang kukuh. Lihat, H. A. Mustofa., Filsafat Islam …, hal.221

[11] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hal. 172.

[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 176

[13] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.280.

[14] Al-Ghazali, lihat “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928), hal.1

[15] H. A. Mustofa., Filsafat Islam … , hal.215

[16] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah …, hal. 86-87

[17] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., hal. 162

[18] A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika,  (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981), hal. 29

[19] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah …, hal. 131

[20] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983) , hal. 89

[21] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 167

[22] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah …, hlm. 206-207

[23] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm.171

[24] Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971),  hal. 700-703

[25]  A. Mustofa, Filsafat Islam … , hlm. 237-238

[26] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 172

[27] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1960), hlm. 129

[28] Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut …, hlm. 287-290

[29] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 173

[30] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, ( Jakarta: Tinta Mas, 1960), hal. 205

[31] A. Mustofa, Filsafat Islam … , hlm. 237-238
r

Tidak ada komentar:

Posting Komentar