Selasa, 27 Desember 2016

SEJARAH FILSAFAT ISLAM

.     A.  SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT ISLAM

Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai filsafat Islam, memaparkan sejarah lahirnya filsafat islam merupakan suatu tindakan yang sangat penting, tujuannya untuk mencari bukti-bukti yang valid seputar persoalan sejarah pemikiran umat islam pada umumnya. Secara historis, tarik-menarik kepentingan bahwa filsafat itu murni atau tidak murni dari Islam adalah fakta yang tak bisa dihindari.
Saling mengklaim antar ilmuwan Barat dan Islam menjadi lembaran panjang dalam perjalanan filsafat, misalnya Oliver Leaman yang berpendapat bahwa “filsafat Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karya terjemahan berbahasa Arab, lalu kedalam bahasa Yahudi, dan baru kemudian kedalam bahasa Latin atau langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin”. Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa “filsafat berasal dari Irak terus Mesir dan ke Yunani, kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ketangan orang-orang Arab.”
Namun pada dasarnya, sebagian kalangan menganggap bahwa awalnya filsafat berkembang di Yunani dengan 3 tokoh yang sangat terkenal yaitu: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Yang mana ditangan mereka filsafat tidak hanya membicarakan kosmosentris (pemikiran yang terpusat pada alam) namun pengetahuan tentang keyakinan agama dan ke-Tuhanan mulai dibicarakan.
Sesudah abad ke-3 SM (sesudah masa Plato dan Aristoteles) tidak muncul pemikiran yang benar-benar baru dalam filsafat Yunani sampai akhirnya tampil kaum Neo Platonis kurun abad ke-3 M. Jika membuka ulang sejarah peradaban dunia, masa setelah Aristoteles adalah masa kejayaan Alexander Agung (Raja Iskandar Zulkarnain), kaisar Romawi yang pernah menjadi murid Aristoteles. Alexander menaklukan Asia kecil, Syiria, Mesir, Babilonia, Persia, Samarkand, dan Punjab. Tiap kali berhasil memenangkan ekspansi militer, Alexander mendirikan kota-kota yang bercita rasa Yunani. Namun ketika kekuasaannya semakin meluas, Alexander terpaksa menganjurkan pembaruan antara budaya Yunani dan budaya bangsa jajahan. Inilah Hellenisme, yaitu suatu peristiwa menyatunya kebudayaan Yunani disegala bangsa jajahan Romawi.
Setelah Alexander meninggal, kerajaannya yang besar itu terbagi tiga: Macedonia di eropa, kerajaan Ptolemeus di mesir, dan kerajaan Seleucid di asia. Petolemeus dan seleucus berusaha meneruskan politk alexander untuk menyatukan peradaban yunani dan iran sungguh pun usaha itu  tak berhasil kebudayaan dan peradaban yunani meninggalkanbekas besar di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang di pakai di sana ialah bahsa yunani. Di mesir dan syiria bahasa ini tetap di pakai sesudah mauknya islam kedalam dua daerah itu dan hanya baru ditukar dengan bahasa arab di abad ke 7 M oleh khalifah bani umayah A. malik Ibnu Marwan (685-705M), khalifahke 5 dari bani umayah. Alexanderia, Antiocah, dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yunani.
Di abad ke 3 M pusat-pusat kebudyaan yunani ini di tambah dengan kota jundis hapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (di dirikan pada tahu 762 M). disana sewaktu kota itu masuk kebawah kekuasaan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.
Harun al-Rasyid menjadi khalifah ditahun 786 M, dan sebelumnya ia belajar di Persia dibawah asuhan Yahya ibnu Khalid ibnu Barmak dan dengan demikian banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga barmak pada ilmu pengetahuan dan falsafat. Keluarga Barmak dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu penegtahuan serta falsafat dan condong pada paham Muktazilah. Dibawah pemerintahan Harun al_rasyid, penerjemahan buku-buku ilmu pengertahuan Yunani kedalam bahasa Arabpun dimulai. Pada mulanya yang dipentingkan ialah buku-buku mengenai kedikteran, tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain dan falsafat. Buku-buku itu diterjemahkan terlebih dahulu kedalam bahasa siria, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia di waktu itu, kemudian baru kedalam bahasa Arab. Akhirnya penerjemahan diadakan langsung kedalam bahasa Arab.
Dengan kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar dari karangan-karangan Aristoteles, Plato, Galen, serta karangan-karangan mengenai neoplatonisme dan ilmu kedokteran dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan-karangan tentang filsafat banyak menarik perhatian kaum Muktazilah, sehingga banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat yunani. Abu al-Huzail al-Allaf, Ibrahim al-Nazzam, Bisr ibnu al-Mu’tamir dan lain-lain banyak membaca buku-buku falsafat. Dalam pembahasan mereka mengenai teologi islam, daya akal atau logika yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani banyak mereka pakai. Tidak mengherankan kalau teologi kaum Muktazilah mempunyai corak rasional dan liberal.
Tidak lama kemudian timbullah dikalangan umat islam sendiri filosof-filosof dan ahli-ahli ilmu pengetahuan, seperti:
a    . Al-Kindi (801-866).
b    . Al-Razi (864-926).
c    . Al-Farabi (870-950).
d    . Ibn Sina (980-1037).
e    . Ibn Maskawaih (W. 1030).
f    . Al-Ghazali (1058-1111).
g   . Ibn Bajjah (w. 1138).
h   . Ibn Tufail (1110-1185).
i.        Ibn Rasyd (1126-1198).
Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa ahli seperti :
1  . Abu Abbas al-Syarkasyi pada abad ke 9 M dibidang kedokteran.
2  . Muhammad, Ahmad dan Hasan dibidang Matematika.
3  . Al-Asma (740-828 M) dibidang Ilmu alam.
4  . Jabir dibidang Kimia.
5  . Al-Biruni dibidang Astronomi, sejarah, geografi dan Matematika
6  . Ibnu Haitam dibidang Optika.

    B. HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI

Mengkaji hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani dapat diakatakan “gampang-gampang susah”. Kesulitannya terletak  pada titik perbedaan yang nyata, yaitu doktrin keimanan. Kemudahannya dapat ditelusuri dari aspek sejarah kelahiran kedua ilmu tersebut.
1. Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Historis
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskahilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik islam.
Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa swjarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama (132-232 H/750-847 M). ilmu ini ditransfer kedunia Islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Puith seperti ; Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218 H/813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi Byzantium yang beribukota di konstantinopel, yang juga dikenal sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu filsafat.
Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam terutam aqidah, untuk memelihara peluasan antara wahyu dan akal.
Tentu saja aktivitas para filsuf Muslim diatas bersentuhan dngan penafsiran Al-qur’an. Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-kindi misalnya, yang dikenal sebagai bapak filsuf Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahamo al_qur’an denganbenar, isinya harus di tafsirkan secara Rasional, bahkan filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang-menyudutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al-Kindi, Ibn Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh Ibn Rusyd nmenyatakan bahwa tujuan dasar filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar.
Dalam hal ini fislafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat Manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.
Itulah sebabnya, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam islam adalah ajaran islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.
Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani. Pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks kegamaan Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para filsuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi dihadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal-usul penciptaan dan seterusnya, yang semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Tampak jelas terlihat adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani member modal dasar dalam pelurusan berfikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu. Secara teologi dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara azali telah ada maka filsafat Yunani hanya sebagai desain besar Allah SWT. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah orisnaitas filsafat Islam, apakah ia mengekor atau pelopor.
Nurcholis madjid, yang mengutip pendapat Bertrand Russel, menyatakan bahwa memang disatu pihak filsafat Islam merupakan “barang baru” di dunia Islam. Namun, di pihak lain dalam pengembangan ilmu ini terdapat yang original, yang bukan milik Barat. Bahkan, Barat meminjamnya dari Islam, seperti ilmu matematika dan kimia. Tidak adanya orisinilitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik. Sebab, para filsuf klasikmIslam, betapa pun pengembaraan intelektualnya adalah orang-orang yang religious. Mungkin, tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks.
Karena religiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi mereka telah cukup rasionalitas sebagaimana yang telah dituntut oleh filsafat. Abdul Mun’im mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda dengan Kristen. Dengan demikian, orang Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya kepenjuru dunia. Dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan keberbagai dunia Barat.
2. Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani: Kajian Doktrin
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetaoi juga dalam perekembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri. Hanya yang menjadi masalah di sini adalah apakah penggunaan akal, seperti yang munculdalam istilah Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam itu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat akal lebih tinggi daripada wahyu sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikira Islam , baik dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan member interpretasi.
Menurut Harun Nasution, yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, baik oleh kaum Mutazilah maupun oleh kaum filsuf Islam. Yang dipertentangkan hanyalah penafsiran dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain tentang penafisran wahyu. Dengan kata ijtihad ulama yang satu dengan yang lain.
Dalam ajaran islam, pemakaian akal memang tidak diberi kebebasan mutlak sehingga pemikir islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan oleh Quran dan hadits, tetapi tidak pula diikat dengat ketat. Perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian akal yang diperintahkan Al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah, mendorong manusia untuk meneliti alam-alam sekitarnya, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Penggunaan akal yang maksimal dalam rangka memahami hakikat wujud atas sesuatu itulah sesungguhnya dunia filsafat. Namun demikian, peranan akal yang maksimal dalam pembahsan masalah-masalah keagamaan islam itu dijumpai bukan hanya dalam filsafat, tetapijuga dalam bidang teologi, dan bahkan dalam fiqih dan tafsir Al-Quran sendiri. Hanya saja perbedaan jika dalam bidang fiqih dan teologi, akal banyak dipakai dalam memahami teks-teks keagamaan dalam Al-Quran dan hadits, sedangkan dalam filsafat islam, sebagai bentuk pemikiran yang sedalam-dalamnya, tentang wujud akal yang banyak dipakai dan berguna pemakaiannya dalam ilmu fiqih dan teologi.
Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, secara doctrinal memiliki hubungan bahwa islam memiliki ajaran untuk mencari pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali pemikiran yang benar. Begitu pula, dalam filsafat yunani akal menjadi pusat pemikiran yang begitu bebas, sementara dalam filsafat islam diberikan kelonggaran, meskipun terdapat keketatan dalam penggunan rasio.
Suatu kebenaran yang tidak dapat ditolak adalah pengaruh peradaban Yunani, Persia, dan India. Diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran, dan matematika dengan angka-angka yang oleh orang Arab  disebut angka India dan oleh orang Eropa kemudian dikenal dengan nama angka Arab. Sedangkan dari Persia terdapat ilmu bumi, logika, filsafat, astronomi, ilmu ukur, kedokteran, sastra, dan seni.
Pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu dan filsafat, menurut Ahmad Amin, adalah dari Yunani. Karena kontak umat Islam dengan kebudayaan Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam, maka masuklah ke dalamnya unsur-unsur kebudayaan Yunani yang memberinya corak tertentu, terutama dalam bentuk dan isi. Dalam bentuk, pengaruh logika Yunani besar sekali, ilmu-ilmu Islam diberi warna baru, ditempa menurut pola Yunani dan Disusun sesuai dengan sistem Yunani. Jadi, logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam pikiran Islam di zaman Bani Abbas.
Perlu ditegaskan bahwa pengaruh bukan berarti menjiplak. Betapa banyaknya para filosof baik Islam maupun non-Islam terpengaruh oleh pemikiran filosof sebelumya, namun mereka tidak menyandang predikat penjiplak atau pengembik. Ibnu Sina walaupun terpengaruh berat oleh Aristoteles, tetapi ia juga memiliki pemikiran filsafat tersendiri, yang tidak dimiliki oleh al mu’allim al-Awwal, Aristoteles sendiri.
Dalam rekaman sejarah, cara terjadinya kontak antar umat Islam dan filsafat Yunani (juga sains) melalui daerah Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Filsafat Yunani datang ke daerah-daerah ini ketika penaklukan Alexander yang agung ke Timur pada abad keempat (331) sebelum Masehi. Ia juga mempersatukan orang-orang Yunani dan Persia dalam satu Negara besar dengan cara berikut.
1. Ia angkat pembesar dan pembantunya dari orang Yunani dan Persia.
2.Ia mendorong perkawinan campuran antara Yunani dan Persia. Bahkan, ia pernah menyelenggarakan perkawinan massal 24 jenderal dan 10.000 prajuritnya dengan wanitawanita Persia di Susa.
3. Sementara itu, ia sendiri kawin dengan Statira, putrid Darius, Raja Persia yang kalah perang.
4. Ia mendirikan kota-kota dan permukiman-permukiman yang dihuni bersama oleh orang-orang Yunani dan Persia.
Dengan demikian, bercampurlah kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia. Sebagai bukti dalam hal ini kota Alexandria di Mesir, yang dalam bahasa Arab disebut al-Iskandaria, merupakan warisan dari usaha di atas. ( Sirajuddin Zar: 2010 )

   C.  PANDANGAN ORIENTALIS DAN PANDANGAN  SEJARAH ISLAM TENTANG FILSAFAT ISLAM

·         ORIENTALIS
A.    Pengertian
Orientalisme adalah studi islam yang dilakukan oleh orang-orang barat. Kritikus orientalisme Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat Eropa.  Secara bahasa orientalisme berasal dari kata “orient” yang artinya “timur” secara etnologis orientalisme bermakna “bangsa-bangsa di timur” dan secara geografis  “hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya” orang yang menekuni dunia ketimuran disebut orientalis. Orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan  menyelidiki  hal-hal yang berkaitan dengan bangsa timur beserta lingkungannya.
B.     Latar Belakang
Munculnya Orientalisme  Salah satu penyebab munculnya orientalisme adalah perang salib yakni ketika terjadi pergesekan politik dan agama antara islam dan kristen barat di Palestina. Argumentasinya adalah permusuhan politik berkecamuk antara umat islam dan kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahudin al-Ayubi.   Karena pihak kristen sering mengalami kekalahan atas umat islam, maka dendam untuk membalas membara selama berabad-abad. Di sisi lain faktor lain yang memunculkan munculnya orientalisme untuk kepentingan Barat (Eropa) terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta adanya juga kepentingan dari mereka dalam memahami adat istiadatdan agama, bangsa-bangsa jajahan yang tujuannya memperkuat kekuasaan dan dominasi mereka di bidang ekonomi pada bangsa-bangsa jajahan.
C.    Dogma Orientalisme
Menurut Amien Rais di dalam buku Metodologi Studi Islam karya Didin Saefudin Buchori, sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme.
Pertama, ada perbedaan mutlak dan sistematik antar Barat yang rasional, maju, manusiawi, dan superior dengan Timurg yang sesat, irrasional, terbelakang, dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia.           
Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil. Kenyataanya dalam masalah ini, para orientalis tidak bisa mengelakkan tuduhan Edward W Said bahwa mereka tidak mau menyelidiki perubahan yang terjadi dalam masyarakat Timur, namun lebih mengutamakan isi teks-teks kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis. Philip K Hitti, umpamanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya, masyarakat islam yang sekarang ini masih persis sama dengan masyarakat islam Sembilan abad lalu.
Ketiga, Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa sesungguhnya Timur itu, dengan cara sangat digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup “obyektif”.
Keempat, pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukan. Apabila seorang orientalis mempelajari islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima, al-Qur’an bukanlah wahyu ilahi, melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsure-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Dalam buku yang sama dijelaskan bahwa seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, buku karangan Muhammad. Al-Qur’an tidak memuat prinsip- prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Qur’an tidak mengutuk tirani dan tidak menganjurkan cinta pada kemerdekaan.
Keenam, kesahihan atau otentitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengkritik syarat-syarat sahihnya hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amin Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga “hadis riwayat Joseph Schacht”.
D.    Tujuan Orientalisme
Edward W Said kritik keras terhadap orientalisme. Menurutnya (di dalam buku Metodologi Studi Islam karya Didin Saefudin Buchori) orientalisme tidak terletak dalam suatu ruang hampa budaya; ia merupakan kenyataan politik dan budaya. Barat, tulis Said,   10 bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka ”jelaskan”.
Secara garis besar tujuan para orientalis menyajikan karya tulisannya terbagi tiga yaitu:
pertama, untuk kepentingan penjajahan, ini jelas tergambar dari penelitian-penelitian yang serius yang dilakukan para orientalis. Contoh dalam kasus Indonesia, Snouck Hurgronye begitu jelas. Nama ini, oleh pemerintah belanda  diberi kepercayaan untuk mengkaji  Islam sedalam-dalamnya sehingga sempat menetap di Mekkah bertahun-tahun. Namun tujuan pengkajiannya tidak lain kecuali untuk melemahkan perlawanan umat Islam terhadap Belanda serta mengobrak-abrik pertahanan dan persatuan kaum Muslimin dengan politik belah bambunya.
Kedua, untuk kepentingan agama mereka, ini juga jelas karena semua penjajah yang menguasai negara-negara Muslim adalah berlatar belakang agama Kristen. Sekalipun ada teori bahwa para kolonialis tidak berambisi mengkristenkan penduduk, namun setidak- tidaknya para penginjil telah menemukan momentumnya dengan membonceng pihak kolonialis untuk menyebarkan Kristen ke tengah penduduk.
Ketiga, untuk kepentingan ilmu pengetahuan; memang para orientalis berasal dari para intelek dan sarjana yang serius mengkaji masalah-masalah ketimuran. Hampir di setiap universitas di Amerika selalu ada pusat-pusat kajian ketimuran seperti pusat kajian ketimuran seperti pusat kajian Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan.  Tujuan yang ketiga dapat menghasilkan kesimpulan yang netral dan fair tentang Islam sekalipun demi kenetralan ilmu mereka juga dapat member kesimpulan kurang fair tentang Islam. Tujuan pertama dan kedua sudah pasti akan menghasilkan penilaian yang miring, bias dan tidak fair tentang Islam demi kepentingan colonial dan ekspansi agama merdeka.
  Sikap dan pandangan orientalis terhadap filsafat islam
Kalangan orientalis sering memutar balikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan membuat kesimpulan yang menyesatkan. Historia est magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Di antara bentuk penyimpangan yang sering dilakukan kalangan orientalis ini adalah memutarbalikkan maksud nash (teks) secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak ada hubungannya dengan nash tersebut. Bentuk penyimpangan lainnya adalah dengan cara menambah atau menghilangkan beberapa kalimat, sehingga nash tersebut memberikan makna yang tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri.
Bagaimana pandangan orientalis terhadap sejarah Islam. Misalnya Montgomery Watt, orientalis Inggris, memberi interpretasi tentang Jihad dari kacamata materialisme belaka, dengan mengaitkan untung ruginya. Disini dapat dilihat bahwa ternyata dia tidak bisa melihat kenyataan bahwa perlawanan paling gigih dalam menghadapi kolonialisme barat di timur, Islam merupakan motivator terpenting yang hingga saat ini masih menggema di berbagai tempat. Seandainya ucapannya benar, pasti Islam telah sirna dari muka bumi sejak lama dan tidak perlu dipelajari lagi oleh kaum orientalis.Penggambaran yang salah ini sebagai tonggak awal munculnya gerakan orientalisme. Orang-orang orientalis saling bahu-membahu menyimpangkan bentuk islam dan potret yang sebenarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal ini digambarkan oleh seorang orientalis kondang bernama Montgomery watt mengungkapkan dalam bukunya. Ia mengatakan sebagi berikut: sesungguhnya aqidah ajaran islam  terdiri dari bentuk penyimpangan dari ajaran kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui pedang. Agama islam mengajak manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual. Dan dalam pribadi muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlaq. Berarti muhammad adalah seorang pendiri agama yang menyimpang. Karena itu hendaknya dijadikan prinsip bahwasanya muhammad merupakam senjata atau tangan kananya setan. Bahkan bangsa eropa pemeluk masehi pada abad pertengahan menamakanya setan.
Sudah jelas bahwa tujuan mereka menyebarluaskan islam yang salah dan menyeramkan, mencakup dua macam :
1.  Mengadakan kesenjangan sehingga islam tidak dapat tersiar dieropa seperti tersiarnya pada bangsa lain.
2.  Menumbuhkan keraguan dalam hati umat islam terhadap ajaran agamanya dan berusaha untuk memurtadkan mereka dari islam dengan cara kristenisasi. Dan ini merupakan tujuan yang paling penting.
Karena itu tidaklah mengherankan bila disana ada kaitan antara gerakan kristenisasi dengan orientalisme dibarat dan akhirnya orientalisme bergerak dengan resmi dengan hasil dari usulan yang diajukan oleh seorang pembaptis bernama Reymond lull. Dengan diterimanya usulan tadi menunjukkan bukti adanya gerakan kristenisasi dibarat, khususnya setelah kegagalan mereka dalam peperangan salib, yang dimaksudkan untuk mewujudkan angan-angan dan keinginan mereka yang pokok, yaitu memurtadkan umat islam. Namun demikian jiwa dan semangat kristenisasi dan permusuhanya terhadap islam tetap tumbuh membengkak dan berkembang terus. Disampiing itu jiwa dan semangat gerakan kristenisasi dibarat juga ikut menyuburkan pertumbuhan gerakan orientalisme, bahkan mengarahkan dan menuntunya. Kemudian pada tahun 1636 M, didirikan fakultas khusus bahasa arab diuniversitas Cambridge.
Dr. Hitti melancarkan tuduhan bahwa nabi muhammad SAW.adalah seorang penipu yang lihai. Uraian yang dikemukakanya tentang kehidupan beliau memberikan kesan kepada pembacanya bahwa dia benar-benar telah merencanakan tulisan itu secara cermat. Dalam komentarnya mengenai berbagai kejadian sesudah hijrah nabi. Dia menulis sebagi berikut:
Di madinah orang-orang yang menunggu beliau secara berangsur-angsur surut kebelakang, karena munculnya tokoh politisi dan praktisi yang mengelola urusan mereka. Suatu perubahan dalam sifat wahyu-wahyu tampak jelas. Wahyu-wahyu yang tegas dan keras yang menekankan keesaan Allah, sifat-sifat-Nya dan kewajiban manusia terhadap-Nya, dan yang disampaikan dalam gaya sastrawi dan penuh berirama, sekarang berubah menjadi wahyu-wahyu berkepanjangan yang kurang menarik berisi pembicaraan tentang persoalan-persoalan seperti ibadat dan salat, perkawinan dan perceraian, budak dan tawanan perang. Dengan pretensinya dengan penguasaan bidang studi itu, Dr. Hitti ternyata telah gagal mengungkapkan makna yang sebenarnya dari peristiwa hijrah itu. Di mekkah nabi muhammad telah lebih dari pada seorang penyampai suatu ajaran sedangkan di madinah beliau mengorganisasikan orang-orang mukmin mejadi suatu masyarakat yang bersatu dengan kuatnya, sehingga dengan perkataan lain beliau menerjemahkan ajaran yang beliau bawa itu kedalam kehidupan nyata. Apa yang terjadi di madinah setelah hijrah itu diyakini baik oleh orang-orang bukan muslim maupun orang-orang muslim bahwa nabi muhammad SAW. Menduduki peringkat tertinggi penegak hukum terbesar yang dikenal dalam sejarah. Dr. Hitti tidak dapat memahami Allah yang telah menyelamatkan nabi muhammad dari ancaman para pembunuh beliau di mekkah.
v  Pandangan Sejarah filsafat islam
 Dalam sejarah, pertemuan Islam (kaum muslimin) dengan filsafat, terjadi pada abad-abad ke-8 masehi atau abad ke-2 Hijriah, pada saat Islam berhasil mengembangkan sayapnya dan menjangkau daerah-daerah baru. Dalam abad pertengahan, filsafat dikuasai oleh umat Islam. Buku-buku filsafat Yunani, diseleksi dan disadur seperlunya, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Minat dan gairah mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan waktu itu begitu tinggi karena pemerintahlah yang menjadi pelopor serta pioner utamanya.
Dua imperium besar pada masa itu, yakni Abbasiyah dengan ibu kotanya Bagdad (di Timur), dan Umayyah dengan ibu kotanya Kordova (di Barat) menjadi pusat peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang bergelut dalam dunia kefilsafatan. Untuk mengetahui sejarah perkembangan filsafat Islam, maka kehadiran para filosof muslim dalam dunia kefilsafatan dari masa ke masa harus ditelusuri.
Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, filosof pertama yang lahir dalam dunia Islam adalah al-Kindi (796-873 M). Ide-ide al-Kindi dalam filsafat misalnya, filsafat dan agama tidak mungkin ada pertentangan. Cabang termulia dari filsafat adalah ilmu tauhid atau teologi. Filsafat membahas kebenaran atau hakekat. Kalau ada hakekat-hakekat mesti ada hakekat pertama (الحق الأول) yakni Tuhan. Ia juga membicarakan tentang jiwa dan akal.
Filosof besar kedua dalam sejarah perkembangan filsafat Islam ialah al-Farabi (872-950 M). Dia banyak menulis buku-buku tentang logika, etika, ilmu jiwa dan sebagainya. Ia menulis buku “Tentang Persamaan Plato dan Aristoteles”, sebagai wujud keyakinan beliau bahwa filsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan. Filsafatnya yang terkenal adalah filsafat emanasi.
Selanjutnya, filosof setelah al-Farabi adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Nama Ibnu Sina terkenal akibat dua karangan beliau yakni al-Qanun Fiy al-Tibb yang merupakan sebuah Ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 M, dan menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa, dan al-Syifa al-Qanun yang merupakan Einsiklopedia tentang filsafat Aistoteles dan ilmu pengetahuan. Di dunia Barat, beliau dikenal dengan Avicenna (Spanyol Aven Sina) dan popularitasnya di dunia Barat sebagai dokter melampau popularitasnya sebagai filosof, sehingga ia diberi gelar dengan “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam sendiri, ia diberi gelar al-Syaikh al-Ra’is atau pemimpin utama dari filosof-filosof.
Filosof selanjutnya adalah Ibnu Miskawaih (W. 1030 M). Beliau lebih dikenal dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, Tahzib al-Akhlak. Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri. Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi. Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu serta keberanian dan keadilan.
Filosof berikutnya adalah al-Ghazali. Selain filosof, al-Gazali juga termasuk sufi. Jalan yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya meninggalkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang hilang dahulu ia peroleh kembali.
Berdasar dari uraian-uraian terdahulu, maka dapat dipahami bahwa perkembangan filsafat Islam, pada mulanya terwariskan dari karangan-karangan filosof Yunani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa sehingga ia diberi gelar penafsir (comentator), yaitu penafsir filsafat Aristoteles.
Perkembangan filsafat Islam, hidup dan memainkan peran signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-Dīn al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi pengikutnya.
Filsafat Islam di Persia, juga terus berkembang dan memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat pertentangan dari kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga pakar filsafat Islam.

    D.    SUMBER-SUMBER FILSAFAT ISLAM

Tradisi Filsafat Yunani merupakan sumber awal kelahiran Filsafat-Filsafat lain, termasuk juga Filsafat Islam. Akan tetapi, hubangan antara Filsafat Islam dan Filsafat Yunani tidak terjadi secara langsung tanpa perantara. Kebudayaan Hellenistik yang berkembang di Iskandariah adalah perantara itu.
Seperti sudah disebutkan dalam ringkasan sejarah kemunculan Filsafat Islam sebelumnya, kerja-kerja penerjemahan terhadap karya-karya Filsafat Yunani yang di lakukan umat Islam tidak mungkin terjadi tanpa adanya bantuan tidak langsung dari para Filosof Iskandariah. Dengan kata lain, hubungan antara Filsafat Yunani dan tradisi pemikiran Islam di dahului oleh kontak- budaya Islam dengan kebudayaan Kristen Timur  (mesir) yang sudah lebih dulu menyerap inti Filsafat Yunani. Jika demikian adanya, maka apapun yang menjadi sumber dalam Filsafat Yunani adalah juga sumber Filsafat Islam.
Filsafat Islam tidak menolak keberadaan indera dan akal sebagai sumber pengetahuan manusia. Dalam pembicaraan epistemologinya secara umum, indera dan pengalaman inderawi di jadikan sebagai gerbang awal pengetahuan. Alat-alat indera mengantarkan keseluruhan objek-objek terindera kepada alat kerja pengetahuan yang lebih mempuni dalam penarikan kesimpulan yakni akal manusia. Tidak penting untuk membicarakan kontroversi seputar definisi akal pada manusia jika pembicaraan pengetahuan dikonsentrasikan pada mekanisme kerja pembentukan pengetahuan berdasarkan data-data yang diterima oleh alat-alat indera, baik indera bagian luar, maupun indera bagian dalam. Secara keseluruhan, para Filosof dalam tradisi Islam tidak menolak aspek penting akal dalam Filsafat Islam. Hanya saja, dalam kadar penggunaan kemampuan rasional, boleh jadi para Filosof itu memang berbeda sesuai dengan karakter filsafat yang mereka usung.
Selain pengalaman inderawi dan penalaran logis, dalam tradisi Filsafat Islam, keberadaan wahyu juga diterima sebagai sumber pengetahuan. Bahkan, pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu memiliki setatus istimewa, karna seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi atau Rasul Tuhan. Tentu saja, pengetahuan semodel ini berbeda dengan pengetahuan manusia biasa yang berporos pada indera dan akal. Namun demikian, keberadaan wahyu sebagai pedoman iman harus dipercayai secara taken for granted, dan para filosof muslim berusaha untuk memahami wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji dan diletakkan dalam tataran teoritis.
Ditinjau dari kondisi historis dan normativ wahyu ilahi menempati posisi sentral dalam pemikiran umat Islam. Wahyu dijadikan sebagai pedoman dan pegangan nilai yang mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden, wahyu juga dipandang sebagai media bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan yang “di Atas” manusia. Jika wahyu diterima sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, termasuk juga terhadap pertanyaan-pertanyaan Filosofis manusia, maka wahyu turun salalu dalam kondisi historitas tertentu.
Thaha Hussein pernah membagi wahyu kedalam dua dimensi: the first massage di satu sisi, dan the second massage di sisi lain. Klasifikasi ini adalah penjelasan yang menekankan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan kata lain, penalaran logis menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam urusan menerjemahkan maksud-maksud wahyu yang terkadang diturunkan lewat rumusan-rumusan bahasa metaforis. Penalaran akal kemanusiaanlah yang kemudian menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis kemanusiaan di bumi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri perang saudara antara pasukan Ali dan Mu’awiyah di Siffin dapat dijadikan bukti historis bahwa wahyu memang sangat terbuka utuk interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu berpretensi untuk menyesatkan atau sekedar melakukan pembangkangan metodis,
Fenomena pewahyuan adalah persoalan yang banyak menyita waktu dan pikiran para Filosof muslim. Naif untuk mengatakan bahwa para Filosof muslim menolak pewahyuan dan Risalah kenabian,sebab jika sejarah para Filosof muslim yang menolak  dibuka kembali, maka hanya akan dijumpai sedikit nama saja yang menolak pewahyuan. Fakta ini berbanding terbalik dengan fakta historis dan cerita-cerita tentang para Filosof yang justru memulai keberangkatan pemikiran Filsafat melalui pedoman wahyu, dan demi kelangsungan tafsiran atas wahyu.
Ketika menjelaskan persoalan wahyu, al-Farabi mengatakan bahwa saat seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: pertama, intelek aktif sebagai entitas yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. kedua,intelek perolehan (al’aql al mustafad) yang dipeoleh Nabi hanya ketika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Ketiga, intelek pasif (al aql al manfail) yang merupakan kondisi intelek penerima wahyu. Penjelasan al Farabi ini adalah bukti bahwa proses pewahyuan tidak untuk ditolak. Penjelasan ini dirasionalisasikan  untuk memudahkan dan menanamkan keyakinan awam pada tendensi pewahyuan.
Karena wahyu telah diterima sebagai sumber pengetahuan dalam Filsafat Islam,maka mau  tidak mau, Filsafat Islam juga selalu bersinggungan dengan bidang-bidang keilmuan Islam lain. Hal ini karna keseluruhan objek kajian dalam al dirasah al Islamiyah merupakan interpretasi atas pedoman dasar agama Islam. Dalam pada itu, perbedaan tiap bidang kajian bermula tidak saja dari pemilahan objek dan ruang lingkupnya, tetapi juga bermula dari penentuan metode yang digunakan dalam menyikapi kitab suci.
Islam merupakan agama yang paling memuliakan teks suci. Dalam berbagai forum pidato, penulisan buku dan pergaulan sehari-hari, umat Islam kerap menukil dan menyartakan kutipan-kutipan teks suci. Teks suci telah dijadikan sebagai rujukan legitimasi berbagai wacana Ilmiah dan politik. Hal ini membawa masalah baru ketika batas antara interpretasi, manipulasi dan apresiasi atas teks suci tidak jelas dan kabur. Jika dikaitkan dengan prihal seni seni, karna Islam menganut paham Ikonoklasme radikal, maka yang paling menonjol adalah seni kaligrafi, berbeda dari keyakinan Hindu dan Kristen yang justru menjadikan lukisan dan patung sebagai medium ritual.
Dalam menyikapi teks suci, keragaman cara pernah muncul dan kesemuaannya membuktikan bahwa umat Islam menjadikan teks sebagai turats yang dinamis. Teks diyakini sebagai sumber inspirasi, resource dalam melakukan adaptasi dan adjustment. Kebebasan dalam berpikir dan berkreasi telah melahirkan peradaban Islam yang agresif dan ekspansif, digulirkan diatas teks suci sesuai dengan kepetingan zaman dan diselenggarakan dalam upaya merealisasikan Islam yang relavan di tiap zaman.
Teks diyakini perlu untuk dibaca berulang-ulang untuk menemukan spirit yang dikandungnya. Spirit yang terkandung dalam teks merupakan syarat untuk merealisasikan Islam yang tidak interpretable ketika dihadapkan dengan kebutuhan umat yang actual dan yang mungkin belum terjadi di masa-masa terdahulu.
Jika sumber dari sebuah tradisi adalah teks verbal yang dapat dibaca di wilayah kultural yang berbeda dengan tanah asalnya, maka problem yang muncul dalam kasus pembacaan teks di luar kultur aslinya adalah bagaimana menciptakan kembali teks dan menyesuaikan dengan kultur pembaca. Penerjemahan dan penafsiran adalah dua system yang selama ini diberlakukan dalam upaya penciptaan kembali teks. Dalam system penerjemahan, suatu tradisi diciptakan kembali dengan cara yang harfiah melalui penempatan teks sebagai inti dari tradisi. Sedangkan dalam system penafsiran, tradisi diciptakan kembali dengan membaca semangat dan nilai-nilai yang dikandung teks dalam situasi yang baru dan melalui artikulasi simbolis yang juga baru. Unsur kreasi dalam system penafsiran sedikit lebih menonjol dari pada penerjemahan. Hal ini dimungkinkan karena dalam system penafsiran, tradisi dan masa lalu tidak dipandang sebagai sesuatu yang paripurna dan telah diseleseikan.
Sampai titik ini, jelas bahwa Filsafat Islam yang menerima keberadaan wahyu sebagai dasar pengetahuan yang dituntut berinteraksi dengan teks suci agama Islam dengan melakukan pembacaan yang berulang demi melahirkan pemikiran yang brilian sebagai jawaban atas tiap pertanyaan filosofis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar