Biografi
Nama
lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn Sina. Ia
dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370
H (8-980 M). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada
masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di
Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi
Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn Sina), dan Muhammad.
Ia mempunyai
ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu
menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab
Metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali, kendatipun
ia belum memahaminya sampai mempunyai ulasan Al-Farabi. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra
Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran
dipelajari sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam
bidang logika) dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18
tahun ia telah berprofesi di berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang,
dan seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid
di Bukhara, Nuh ibn Mansyur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis
hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah
buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang luar
biasa, Ibnu Sina dapat menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu
menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode
Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul
Hadiyah al-Ra’is ila al-Amir.
Pada masa
mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia
banyak mendengarkan percakapan antara
tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka
berdiskusi mengenai soal-soal akal pikran dan kejiwaan menurut cara mereka.
Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam auto biografinya, ia tidak dapat
menerima aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Hal itu menunjukan kemandirian
berpikir ibn Sina dan mengikuti mazhab sunnah maupun mazhab syi’ah. Ia muncul
dengan mazhabnya sendiri, yakni mazhab Sinawi. Jadi, amat sukar mendapatkan
keterangan yang pasti tentang corak mazhab yang dikembangkannya, apakah
cendrung ke Syi’ah atau cenderung ke Sunnah . Tampaknya, ibn Sina mempunyai
pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik
di bidang filasafat maupun bidang keagamaan.
Dalam usia
22 tahun ayahnya meninngal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya,
sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju jurjan, di mana ia
berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah seorang muridnya,
dan penulis sejarah hidupnya. Tetapi, ia tidak lama bermukim di kota ini karena
kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini ia berhasil
menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah dari dinasti Buwaihi (1015-1022).
Atas jasanya ini, Sultan mengangkatnya sebagai Wazir ‘Azhim (perdana mentri)
Rayyand. Namun tidak berapa lama memangku jabatan tersebut, pihak militer
menangkapnya dan merampas hartanya , serta berencana untuk membunuhnya . Atas
bantuan Sultan Syams al-Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi ibn Sina
berhasil menyembuhkan penyakit perut (maag) yang di derita oleh Sultan dan
sebagai imbalannya, Sultan menobatkannya menjadi perdana menteri kedua kalinya di
Hamadan. Jabatan ini diembannya sampai
Syams al-Daulah meninggal dunia. Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi
ke Isfahan untuk berbakti kepada raja ‘Ala’u al-Daulah. Sebelum niat ini
terlaksana, ia ditangkap Taj al-Muluk, anak Syams al-Daulah, dan di penjara di
benteng fardajan selama empat bulan. Ia berhasil lari dari penjara Hamadan
denga n cara manyamar ke Isafan, di mana ia disambut dengan baik sekali.
Di antara
filsuf Arab yang termasyhur di Barat, termasuk ibn Sina yang dikenal avicenna
atau disebut juga Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat
pada asalnya, terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap
pemikiran kaum filsuf, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat dihadapannya
sekaliber Ibn Sina.
Pada akhir
hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan meninggal di
Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun. Diberitakan, penyakit perut
(maag) yang membawa kematiannya sebagai dampak dari kerja kerasnya untuk urusan
negara dan ilmu pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan
menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian
putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin, dan mengisi waktunya dengan
beribadah kepada Allah.
Filsafat islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh
Ar-Rais Abu ‘ Al-Husein bin Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang paling
banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan
ranting. Para filosof Islam yang datang sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang
berarti, malaha sebagian besar dari mereka itu hanya menguraikan buku-buku yang
ditulis oleh Ibn Sina, seperti Ar-Razi dan At-Thusi misalnya. Pada zamannya,
filsafat islam mencerminkan kepribadian Ibn Sina sehingga ia menjadi sasaran
serangan kalangan yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.
Kalau al-kindi seorang Arab dan Al-Farabi seorang Turki, maka Ibn Sina
adalah orang Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam.
Hal itu dimungkinkan oleh agama yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan
berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.
Kalau Istana Khalifah
Al-Mu’tashim Billah diperindah oleh Al-Kindi dan karya-karyanya, dan istana
Saifud-Daulah dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil pemikirannya; maka daulat
Bani Buweih di Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5 Hijriah,
mengenal Ibn Sina dengan nama julukan
As-Syaikh. Ketika itu Sultan Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn Sina ke
istananya di Afghanistan, tetapi Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal
di Persia. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana Sultan
‘Ali bin Al-‘Abbas di Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan banyak
ulama dan kaum cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl
Al-Masihi dan Abu-Khair Al-Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan
Abu Khair Al-Khammar. Ketika itu Al-Biruni telah menempati kedudukan Abu
Ma’syar dalam ilmu falak (astronomi), Abu-Khair Al-Khammar telah menjadi orang ketiga
dalam ilmu kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus. Sedangkan Ibn Sina dan
Abu Al Sahl Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah (filsafat) sesudah
Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi mengatakan dalam
bukunya Jihar Maqalah (Ucapan Terus-terang) sebagai berikut: “Kelompok
itu tidak membutuhkan soal-soal keduniaan di dalam istana. Satu sama lain asyik
berdialog dan merasa senang dengan tukar menukar karya tulis , Sultan Mahmud
Al-Ghaznawi berkirim surat minta supaya mereka bersedia tinggal di istananya
sebagai kehormatan dan untuk mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang
mereka miliki, Akan tetapi Ibn Sina menolak, lantas lari ke Jurjan (teletak di
sebelah tenggara Laut Kaspia) dan tinggal di istana Amir (pangeran) Qabus.”
Dalam autobiografi Ibn Sina memulainya dengan mengatakan : “Ayahku seorang
penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur”. Ia
menulis autobiografinya dengan baik dan disempurnakan kemudian oleh muridnya,
Al-Jurjani, Singkat kata pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran
Al-Qur’an, sastra dan bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu Fiqh pada seorang
guru bernama Isma’il yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud (menjauhi kesenangan duniawi). Di samping itu
ia juga belajar matematika dan ilmu ukur pada ‘Ali Abu’ Abdullah An-Natili.
Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai buku, termasuk buku-buku
Syarh hingga menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia
mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain
tentang ilmu kedokteran, Dalam usia delapan belas tahun ia telah selesai
mempelajari semua ilmu tersebut.
Sebuah cerita
mengatakan bahwa pada masa itu ia hafal isi buku Metaphysica di luar
kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga saat ia menemukan buku
Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia
dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibn Sina mengakui
kedudukan Al-Farabi sesbagai kedua Guru Kedua.
Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh sultan Nuh bin Manshur untuk
mengobati penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini
merupakan awal-mula hubungannya kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang
tersimpan di dalam perpustakaannya Dengan kekuatan daya-ingatnya yang luar
biasa ia dapat menguasai isi sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia
menulis bukunya yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal psikologi menurut
metode Aristoteles. Buku tersebut diberi judul Hidayyatur-Ra’is Ilal-Amir (Hadiah
Ibn Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi pembahasan tentang
kekuatan-kekuatan psikologis. Buku yang lain tentang psikologi di tulisnya
dalam bentuk risalah kecil. Banyak sekali buku-buku karyanya yang memadukan
ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran. Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa
(Buku Penyembuhan) dan mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun.
Buku Asy- Syifa membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu: ilmu semantik,ilmu
alam, ilmu pasti dan ilmu ketuhanan yang kemudian diringkas dalam sebuah buku
berjudul An-Najat (Keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar
hingga dewasa ini.
Sejak diselenggarakannya Mu’tamarusy-Syeikh di Baghdad pada tahun 1952
untuk memperingati genap 1000 tahun hari lahir Ibn Sina, sebuah Panitia Khusus
di Mesir yang terdiri dari para peminat filsafat mengambil prakarsa menerbitkan
Kitabusy-Syifa secara ilmiah. Pertama diterbitkan buku semantiknya, yang
terdiri dari sembilan buah buku. Kemudian diterbitkan buku-bukunya yang lain,
tentang masalah ketuhanan dan musik. Dengan diterbitkannya juga dalam buku-buku
tersebut orang dapat dengan mudah mempelajari filsafat Ibn Sina yang mengikuti
jejak Aristoteles (Masysya’iyyah) dan menjurus ke arah filsafat Isyraqiyyah
yang cenderung kepada sufisme. Pandangan tersebut oleh Ibn Sina dituangkan
dalam bukunya yang berjudul Al-Isyarat dan dalam beberapa karyanya yang belum
pernah diterbitkan, yaitu filsafat Masraqiyyah.
Buku Qanun Ibn Sina terbagi dalam lima jilid, Masing-masing berisi
soal-soal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang
fungsi bagian-bagian tubuh, pembedahan dan pengebotan. Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sampai abad ke-17 Masehi masih
merupakan buku pegangan bagi berbagai unversitas di Eropa. Di samping buku
tersebut, telah diterjemahkan pula sebagian besar dari buku Asy-Syifa lewat
buku itu filsafat Ibn Sina menembus ke negeri-negeri Eropa, sampai Thomas
Aquinas sendiri terpengaruh olehnya.
2. Karyanya
Pada usia 20 tahun ia
telah menghasilkan karya-karyanya cemerlang,dan tidak heran kalau ia
menghasilkan 267 karangan. Kesuburan hasil karya ini disebabkan karena beberapa
faktor. Kualitas karya dan keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar,
dan politik, semuanya menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa.
a. Ia pandai mengatur waktu, di mana siang untuk
disediakan untuk pekerjaan pemerintahan, sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang,
bahkan lapang kesenian pun tidak di tinggalkannya. Kalau hendak berpergian,
maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama diperhatikan dan kalau sudah
payah dalam perjalanan, maka duduklah ia berpikir dan menulis
b. Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak
sedikit artinya bagi kepadatan karyanya. Sering- sering ia menulis tanpa
memerlukan buku-bukunya referensi dan pada saat kegiatannya tidak kurang dari
lima puluh lembar yang di tulis sehari-harinya.
c. Sebelum ibnu Sina telah hidup al-farabi yang
juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti al-farabi telah
meratakan jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan- kesulitan yang
dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.
Karangan- karangan ibnu
Sina:
1. Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang terbesar dari
Ibnu Sina, dan terdiri empat bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan
metafisika, (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar
diberbagai perpustakan di Barat dan Timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak
dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga ke
ilmuan Cekoslovakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian
fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa
Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch bagian logika diterbitkan di Kairo pada
tahun 1954 M, dengan nama Al-burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. Adapun kata Al–syfa,
latinnya Sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang terdidi dari 18 jilid mengenai
fisika, matematika, dan metafisika, kitab ini di tulis pada waktu menjadi
menteri Syams al-daulah dan selesai masa Ala’u al- Daulah di Isfahan.
2. Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari
al-syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu
kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M
di Mesir
3. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai
logika dan hikmah. Buku ini adalah buku
yang terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun
1892, dan sebagiannya di terjemahkan ke dalam bahasa Prancis, kemudian
diterbitkan lagi di kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4. AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak
jelasnya maksud juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian
logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi
menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat
barat.
5. Al-Qanun, atau canon of medicine, menurut penyebutan
orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan
pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas Eropa sampai akhir
abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-risalah lain yang
banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6. Hidayah al-Rais li al-Amir.
7. Risalah fi alkalam ala al-Nas al-Nathaqiyah, dan
8. Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika Timur).
3. Filsafat Ibn Sina
a. Metafisika
Dalam
masalah metafisika, Ibn Sina sebagai salah seorang filsuf eksistensial sepaham
dengan Aristoteles. Dia mendefinisikan bahwa metafisika itu adalah pengetahuan
adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagaimana adanya dan sejauh yang
dapat diketahui oleh manusia. Dia mengklasifikasikan yang ada menjadi dua,
yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud. Dalam filsafat wujudnya,
bahwa segala yang ada ia bagi tiga tingkatan. Pendapatnya itu memiliki daya
kreasi tersendiri sebagai berikut:
1. Wajib
al-wujud
Esensi yang
mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujud,
keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian
berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
2. Mumkin
al-wujud
Esensi yang
boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika
dia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada maka tidak mustahil, yakni boleh
ada boleh juga tidak ada.
Dengan demikian, dalam
menetapkan yang pertama (Allah) kita tidak perlu memerlukan perenungan sendiri,
tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya, namun
pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap dan sempurna. Kedua
macam pembuktian telah digambarkan dalam Al-Qur’an dalam surat Fusshilat ayat
53 yang berbunyi:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا
فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ
يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدُ
Artinya: “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami pada alam semesta dan
pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Tuhan menyaksikan
segala sesuatu “.
Tentang
sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi dan Ibn Sina juga menyucikan Allah
dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan
Mahasempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri atas bagian-bagian. Jika sifat
Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas
(ta’addud al-qudama). Ibn Sina berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui
yang universal di alam dan dia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir
ini dimaksudkan Ibn Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara
tidak langsung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab adanya alam.
Berkaitan
dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiah sebagai yang
terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi
sendiri. Esensi, dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud
terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya.
Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1.
Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn
Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga
kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2.
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud.
Contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur
menjadi tidak ada.
3.
Esensi yang tak boleh tida mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Yang serupa ini
disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Dengan
demikian, Tuhan adalah unik dala arti, Dia adalah Kemaujudan yang Mesti, segala
sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang
Mesti itu harus satu. Nyatanya,walaupun di dalam Kemaujudan ini tak boleh
terdapan kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut
lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina
dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti
itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat
didefinisikan.
Sebagai
pendiri Neo-Platonisme Arab dan tokoh pertama dalam gerakan filosofis tersebut
sejak Proclus (tokoh terakhir dari Barat), Ibn Sina tentu menganut paham
emanasi. Ia berpendapat bahwa dari Tuhan memancar Akal Pertama. Sekalipun Tuhan
terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal Pertama adalah sama-sama azali.
Akal
bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung
dengan falak. Tuhan adalah al-khair al-Mutlak disebut al-Isyq al-Mutlak dan Akal
hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk
kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa falak kepada al-Khair disebut al-Isyq
al-Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa
dan berlangsungnya berbagai macam hal.
b. Jiwa
Menurut Ibn
Sina, munculnya jiwa atau nyawa (vital principle) sebagai “daya adijasmani”
berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh
benda-benda langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti oleh
jiwa hewani, dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Jiwa nabati didefinisikannya
sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai dasar gerak
(kehendak) dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan partikular dan jiwa
manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal yang
universal.
Ibn Sina
lantas memberikan definisi umum tentang jiwa menggunakan kata-kata Aristoteles
sebagai “kesempurnaan pertama dari benda organik yang alami” Sebagai daya-cerap terhadap hal-hal yang partikular dan bergerak sesuai
dengan kehendak, ia disebut jiwa hewani; sebagai daya unutk mencerap hal-hal
universal dan bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan, ia disebut jiwa
manusiawi; dan sebagai daya untuk melahirkan, bertumbuh-kembang, dan
mereproduksi sejenisnya, ia disebut jiwa nabati.
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafahnya tentang jiwa. Di dalam masalah kejiwaan, Ibn Sina termasuk penganut faham dualisme
(sanawiyah). Bagi Ibn Sina, substansi itu berlainan sama sekali dari materi
tubuh, meskipun ia berasal dari pokok yang sama yakni Akal Fa’al, tetapi ia
mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Ada tiga
dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina tentang substansi jiwa
tersebut.
a)
Saat manusia merenungkan dirinya, pada waktu itu secara sadar ia mengenal
bahwa dirinya “ada” selama hidupnya.
b)
Bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan
menumpahkan segenap perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia
merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata saya akan berbuat
begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga.
c)
Manusia mampu menghimpun secara sadar akan aktivitas-aktivitas fisik
organisme yang dilakukannnya tanpa kesulitan. Pengenalan terhadap
aktivitas-aktivitas fisik menjadi bukti bahwa niwa berbeda dari fisik.
Untuk membuktikan
adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni:
1)
Argumen psikofisik
2)
Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
3)
Argumen kontinuitas, dan
4)
Argumen manusia terbang di udara
Untuk membuktikan
argumen pertama,Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak
terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan gerak tidak terpaksa.
Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti
jatuhnya batu dari atas ke bawah.
Untuk
membuktikan unsur argumen yang kedua, Ibn Sina membedakan aku dan jiwa. Aku
dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi jiwa dan kekuatannya.
Dan untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat
manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik metuapak tingkah laku maupun
hal ihwal di sekitarnya. Adapun pembuktian keempat, Ibn Sina mengatakan bahwa
wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber yang berbeda sama
sekali dengan badan, yaitu jiwa.
Jiwa
manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan,
memancar dari akal 10. Sebagai aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga
bagian:
1.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2.
Jiwa binatang dengan daya-daya:
a.
Gerak ,
b.
Menangkap.
3.
Jiwa manusia dengan dua daya:
a.
Praktis yang hubungannya adalah dengan badan.
b.
Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak.
Sifat
seorang manusia bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaannya, maka
badan tidak diperlukan lagi bahkan menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan.
Sejalan dengan terpisahnya antara badan denagn jiwa tersebut, maka jiwa manusia
tidak mesti hancur dengan hancurnya badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa
binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena hanya mempunyai fungsi-fungsi
yang bersifat fisik akan mati dengan matinya badan dan tak akan di hidupkan
kembali di akhirat. Balasannya u tuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia
saja. Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak akan
dihidupkan kelak di akhirat.
Untuk membedakan
hakikat jiwa dan jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani.
Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak
tersusun atas materi-materi sebagimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat
accident, hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa (roh).
Menurut Ibn
Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling
memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad
merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan
diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian,
tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati
beberapa jiwa.
c. Kenabian
Tahapan
mistis ialah apabila jiwa sudah ketak berhinggaan, menjalin hubungan dengan
Intelek Aktif sehingga tak lagi perlu menjalani proses silogistik untuk bisa
menangkap hal-hal universal, tetapi cukup dengan intuisi. Ibn Sina
mengibaratkan tahap ini sebagai tahap “profesi” atau tahap berfungsinya “nalar
suci”.
Tak pelak,
ini metupakan puncak kemampuan intelek manusia, yang hanya ada pada para
filosof dan Nabi. Berkat kemampuan ini, seorang Nabi dapat mengetahui segala
sesuatu secara intuitif, mempersepsi aneka bentuk dan representasi audiovisual,
mencandrakan masa depan dan mempengaruhi peristiwa fisik secara ajaib
(miraculously). Bagi Ibn Sina, nalar suci termaksud tak lain dari sebentuk intelek
habitual, yang mengerucut pada intelek capaian. Sifat yang mencolok dari
psikologi Ibn Sina adalah tatanan hierarkisnya, yang di dalamnya kemampuan yang
rendah selau patu pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka dari itu, pancaindra
selalu patuh pada kemampuan batin, dan kemampuan batin selalu patuh pada
kemampuan rasional.
Pendapat Ibn
Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal materil sebagai yang
terendah adakalanya di anugerahkan Tuhan kepada manusia akal materil yang besar
lagi kuat, oleh Ibn Sina dinamakan intuisis. Daya yang ada pada akal materi
serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan, denagn mudah dapat
berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu
dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai sifat suci. Inilah bentuk akal tertinggi
yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal yang ada pada Nabi-nabi.
Sejalan
dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina memebagi manusia ke dalam
empat kelompok:
1)
Mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang
sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia,
2)
Mereka yang memiliki kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak
yang demikian rupa sehingga berkat
kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan masa akan datang dan
berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia,
3)
Mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai
daya imajinatif,
4)
Terakhir, adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam
ketajaman daya praktis mereka.
Nabi
Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu
memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat
sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga
seluruh materi pada umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu sistem
sosial-politik. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa lambang dan hidup ini
ditekankan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, namun oleh Ibn Sina hal itu lebih rinci
lagi, bahwa sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan menghidupkan
pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan
keterbatasan-keterbatasan psikologi kita. Contoh kecilnya, jika kita lapar,
imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-imaji yang hidup tentang
makan.
Pelambangan
dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan akal nabi,
menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga apapun yang
dipikirkan dan dirasakn oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar dan
melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat” malaikat, dan “mendengar” suaranya.
Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci keagamaan sebagian besar
berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk
mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual. Dengan
demikian, wahtu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal
dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka.
d. Tasawuf
Mengenai
tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan Zuhud, beribah dan meninggalkan
keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya. Ia memulai
tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan
pancaran akal, lalu akan akan menerima ma’rifah dari Akal fa’al.
Mengenai
bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati manusia tidak
diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya,
tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa
puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia
dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebahagiaan pancaran dari
perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari Allah,
tetapi melalui Akal fa’al.
e. Hukum Sebab Musabab
Ibn Sina menggambarkan
sebab atau wakil di mulai dengan sebab ini. mutakallimun berpendapat bahwa
pencipta alam adalah sebagai akibat dari atau hasil dari tuhan yang bertindak
sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama
dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaan kepada wujud dan lain–lain. Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah,
rumah itu tidak ada, kalau rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah tidak
membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam oleh tuhan berbeda
dengan pembuatan sebuah rumah oleh arsitek:
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi
wakil, sedangkan alam selamanya perlu wakil. Sesudah dia
diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari
rumah itu. Dengan perkataan
lain, sebab mendahului perbuatan dalam segala perbuatan yang terjadi dalam
alamTuhan adalah sebab yang efisien dari alam, tidak perlu didahului oleh
waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan akibat, walaupun
bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata
: “kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan
oleh kehendak dan bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya
adalah sama”. Dalam bagian ini ibnu sina berkata : “teranglah, bahwa
dalam setiap makhluk terdapat suatu kehendak batin. Kehendak batin ini dengan
kebutuhannya menjadi sebab dari penciptanya. Setiap unsur ditemani kehendak
batin yang senantiasa kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian
ini menjadi bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang
menolak gambaran tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari
pendiriannya tentang Tuhan Maha Mengatur.
f. Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu
Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam
undang alam semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”.
Undang pelimpahan tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan
pelimpahan rasionil. Keterangan tersebut menyebabkan orang dapat melihat
bagaimana ibnu sina menguraikan tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai baik dan
buruk. Orang akan merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa antara baik dan
buruk, baiklah yang akan menang. Tuhan menghendaki baik oleh karena itu ia
menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk adalah baik dan kesempurnaan makhluk itu
adalah terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan kesempurnaan
datang dari tuhan. Sebab tuhan itu mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan
menjelma dalam setiap yang dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu sebagai seorang
perempuan yang tidak cantik yang memakai topeng sehingga dia tampak cantik
sekedar untuk menutupi ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan tidak
dapat terpisah dari topeng tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya. Tuhan sebagai puncak makhluk, maka tuhan pula
merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Kita harus mengenal tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk yang mencoba memperoleh
kesempurnaan dan kebaikan.
Undang alam semesta adalah sebaik–baik undang makhluk, dan dunia kita
adalah sebaik–baik alam yang dapat difahamkan oleh otak manusia. Selama dunia
ini tersusun dari kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda
bentuk, potensi dan hakikat, kejahatan selamanya aka nada, kejahatan lebih
sedikit daripada kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative dan kebaikan itu
bersifat positif. Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan manusia
terbatas, dia tidak dapat mengerti hikmah yang berada dalam kejahatan tuhan
tidak melihat kepada sesuatu pendirian kita yang terbatas, akan tetapi tuhan
memandang secara keseluruhannya terletak dalam aturan hirarki yang turun dari
tuhan. Untuk membuktikan bahwa tuhan maha mengetahui, ibnu sina pernah
menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan, yaitu :
a.
Tentang pendirian filsafat
aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan berada diluar alam.
b.
Tesis Alqur’an yang mengatakan
: “tuhan adalah maha tahu akan segala yang tidak terlihat. Tidak ada sebutir
atom atau lebih kecil dari itu atau lebih besar di langit dan di bumi yang
tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang–terangnya bukti” (Surat 34/4)
c.
Tentang pendapat Plato dan
Neoplatenis, yang mengatakan bahwa tuhan adalah prinsip pertama, Yang Esa dan
Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh pengetahuan , sebab dengan
meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang rangkap yaitu
tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya
sendiri, dia tahu bahwa Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala
sesuatu yang keluar daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa
ilmu Tuhan tentang kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab
musabab. Segala sesuatu berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
g. Pandangan Tentang Akal
Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa.
Ada dua macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang
muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia.
Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal
manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga terkenal dengan
rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk– bentuk.
Rumusan ibnu sina diambil alih oleh seorang pendeta Dominican Albertus Magnus
(1206 - 1280) yang dikemukakan di dunia barat.
Pengaruh filsafat Ibnu
Sina:
Banyak
sekali pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Sina, diantaranya:
Pertama,
beliau menentang pemikiran kaum sufi ortodoks dengan tidak meninggalkan
keduniaan sehingga melahirkan kaum sufi modern.
Kedua, hasil
karya beliau dijadikan standar kurikulum di universitas Eropa.
Ketiga,
dalam bidang pendidikan, Mahmud Yinus mengatakan bahwa Ibn Sina mengajukan
beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni tenang, tidak
bermuka masam, tidak berolok-olok di hadapan murid dan sopan santun.
Berkat
telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filsuf sebelumnya, semisal
Ak-Kindi dan Al-Farabi, Ibn Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang
terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan terbesar yang dilakukan oleh Ibn Sina
adalah menjawab berbagai persoalan fislafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Sina, seperti karya pemikiran dan telaahnya di
bidang kedokteran, tidak hanya tertuju pada dunia islam, tetapi merambah ke
dataran Eropa. Filsafat metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari tema-tema
filsuf yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Pengaruh dan
kontribusi Ibn Sina tampak dalam sejarah filsafat abad pertengahan yang
menganggapnya sebagai yang unik dan memperoleh pengahargaan yang semakin tinggi
hingga masa modern. Keunikan Ibn Sina ini dibuktikan dengan kempuannya
memengaruhi agama-agama lain di abad pertengahan selain dunia Islam sendiri,
seperti fenomena perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh
Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar
terpengaruh oleh Ibn Sina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar