Selasa, 27 Desember 2016

Filsafat Ibnu Sina

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj53fL2AAbVp9vUPa5LKvJ0bRzCPXGysB2zIrXTnaymd9BydA1zSeTnNTm6Hl_QifzXU0dL2VVuAGTjbmt2kcN5IW-GkUVLJUB4qRTinldhEb0X7wZ4p4qUC2EbqrBQfpQWoR4S1_F8If82/s320/Abu-Ali-Ibn-Sina.jpg
Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (8-980 M). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn Sina), dan Muhammad.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab Metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali, kendatipun ia belum memahaminya sampai mempunyai ulasan Al-Farabi. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran dipelajari sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam bidang logika) dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi di berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Mansyur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa, Ibnu Sina dapat menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah al-Ra’is ila al-Amir.
 Pada masa mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak  mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal akal pikran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam auto biografinya, ia tidak dapat menerima aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Hal itu menunjukan kemandirian berpikir ibn Sina dan mengikuti mazhab sunnah maupun mazhab syi’ah. Ia muncul dengan mazhabnya sendiri, yakni mazhab Sinawi. Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang corak mazhab yang dikembangkannya, apakah cendrung ke Syi’ah atau cenderung ke Sunnah . Tampaknya, ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filasafat maupun bidang keagamaan.
Dalam usia 22 tahun ayahnya meninngal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya, sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju jurjan, di mana ia berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah seorang muridnya, dan penulis sejarah hidupnya. Tetapi, ia tidak lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah dari dinasti Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya ini, Sultan mengangkatnya sebagai Wazir ‘Azhim (perdana mentri) Rayyand. Namun tidak berapa lama memangku jabatan tersebut, pihak militer menangkapnya dan merampas hartanya , serta berencana untuk membunuhnya . Atas bantuan Sultan Syams al-Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi ibn Sina berhasil menyembuhkan penyakit perut (maag) yang di derita oleh Sultan dan sebagai imbalannya, Sultan menobatkannya menjadi perdana menteri kedua kalinya di Hamadan. Jabatan ini diembannya  sampai Syams al-Daulah meninggal dunia. Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi ke Isfahan untuk berbakti kepada raja ‘Ala’u al-Daulah. Sebelum niat ini terlaksana, ia ditangkap Taj al-Muluk, anak Syams al-Daulah, dan di penjara di benteng fardajan selama empat bulan. Ia berhasil lari dari penjara Hamadan denga n cara manyamar ke Isafan, di mana ia disambut dengan baik sekali.
Di antara filsuf Arab yang termasyhur di Barat, termasuk ibn Sina yang dikenal avicenna atau disebut juga Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat pada asalnya, terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap pemikiran kaum filsuf, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat dihadapannya sekaliber Ibn Sina.
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun. Diberitakan, penyakit perut (maag) yang membawa kematiannya sebagai dampak dari kerja kerasnya untuk urusan negara dan ilmu pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin, dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.
Filsafat islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh Ar-Rais Abu ‘ Al-Husein bin Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Para filosof Islam yang datang sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang berarti, malaha sebagian besar dari mereka itu hanya menguraikan buku-buku yang ditulis oleh Ibn Sina, seperti Ar-Razi dan At-Thusi misalnya. Pada zamannya, filsafat islam mencerminkan kepribadian Ibn Sina sehingga ia menjadi sasaran serangan kalangan yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.
Kalau al-kindi seorang Arab dan Al-Farabi seorang Turki, maka Ibn Sina adalah orang Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh agama yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.
Kalau Istana Khalifah Al-Mu’tashim Billah diperindah oleh Al-Kindi dan karya-karyanya, dan istana Saifud-Daulah dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil pemikirannya; maka daulat Bani Buweih di Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5 Hijriah, mengenal Ibn Sina dengan  nama julukan As-Syaikh. Ketika itu Sultan Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn Sina ke istananya di Afghanistan, tetapi Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal di Persia. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana Sultan ‘Ali bin Al-‘Abbas di Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan banyak ulama dan kaum cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu-Khair Al-Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu Khair Al-Khammar. Ketika itu Al-Biruni telah menempati kedudukan Abu Ma’syar dalam ilmu falak (astronomi), Abu-Khair Al-Khammar telah menjadi orang ketiga dalam ilmu kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus. Sedangkan Ibn Sina dan Abu Al Sahl Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah (filsafat) sesudah Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi mengatakan dalam bukunya Jihar Maqalah (Ucapan Terus-terang) sebagai berikut: “Kelompok itu tidak membutuhkan soal-soal keduniaan di dalam istana. Satu sama lain asyik berdialog dan merasa senang dengan tukar menukar karya tulis , Sultan Mahmud Al-Ghaznawi berkirim surat minta supaya mereka bersedia tinggal di istananya sebagai kehormatan dan untuk mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang mereka miliki, Akan tetapi Ibn Sina menolak, lantas lari ke Jurjan (teletak di sebelah tenggara Laut Kaspia) dan tinggal di istana Amir (pangeran) Qabus.”
Dalam autobiografi Ibn Sina memulainya dengan mengatakan : “Ayahku seorang penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur”. Ia menulis autobiografinya dengan baik dan disempurnakan kemudian oleh muridnya, Al-Jurjani, Singkat kata pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran Al-Qur’an, sastra dan bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu Fiqh pada seorang guru bernama Isma’il yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud  (menjauhi kesenangan duniawi). Di samping itu ia juga belajar matematika dan ilmu ukur pada ‘Ali Abu’ Abdullah An-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai buku, termasuk buku-buku Syarh hingga menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang ilmu kedokteran, Dalam usia delapan belas tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut.
Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa itu ia hafal isi buku Metaphysica di luar kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga saat ia menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibn Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sesbagai kedua Guru Kedua.
Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh sultan Nuh bin Manshur untuk mengobati penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini merupakan awal-mula hubungannya kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang tersimpan di dalam perpustakaannya Dengan kekuatan daya-ingatnya yang luar biasa ia dapat menguasai isi sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia menulis bukunya yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal psikologi menurut metode Aristoteles. Buku tersebut diberi judul Hidayyatur-Ra’is Ilal-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi pembahasan tentang kekuatan-kekuatan psikologis. Buku yang lain tentang psikologi di tulisnya dalam bentuk risalah kecil. Banyak sekali buku-buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran. Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa (Buku Penyembuhan) dan mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun. Buku Asy- Syifa membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu: ilmu semantik,ilmu alam, ilmu pasti dan ilmu ketuhanan yang kemudian diringkas dalam sebuah buku berjudul An-Najat (Keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar hingga dewasa ini.
Sejak diselenggarakannya Mu’tamarusy-Syeikh di Baghdad pada tahun 1952 untuk memperingati genap 1000 tahun hari lahir Ibn Sina, sebuah Panitia Khusus di Mesir yang terdiri dari para peminat filsafat mengambil prakarsa menerbitkan Kitabusy-Syifa secara ilmiah. Pertama diterbitkan buku semantiknya, yang terdiri dari sembilan buah buku. Kemudian diterbitkan buku-bukunya yang lain, tentang masalah ketuhanan dan musik. Dengan diterbitkannya juga dalam buku-buku tersebut orang dapat dengan mudah mempelajari filsafat Ibn Sina yang mengikuti jejak Aristoteles (Masysya’iyyah) dan menjurus ke arah filsafat Isyraqiyyah yang cenderung kepada sufisme. Pandangan tersebut oleh Ibn Sina dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Isyarat dan dalam beberapa karyanya yang belum pernah diterbitkan, yaitu filsafat Masraqiyyah.
Buku Qanun Ibn Sina terbagi dalam lima jilid, Masing-masing berisi soal-soal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian-bagian tubuh, pembedahan dan pengebotan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sampai abad ke-17 Masehi masih merupakan buku pegangan bagi berbagai unversitas di Eropa. Di samping buku tersebut, telah diterjemahkan pula sebagian besar dari buku Asy-Syifa lewat buku itu filsafat Ibn Sina menembus ke negeri-negeri Eropa, sampai Thomas Aquinas sendiri terpengaruh olehnya.  
2. Karyanya
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karyanya cemerlang,dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan. Kesuburan hasil karya ini disebabkan karena beberapa faktor. Kualitas karya dan keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar, dan politik, semuanya menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa. 
a.    Ia pandai mengatur waktu, di mana siang untuk disediakan untuk pekerjaan pemerintahan, sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang, bahkan lapang kesenian pun tidak di tinggalkannya. Kalau hendak berpergian, maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama diperhatikan dan kalau sudah payah dalam perjalanan, maka duduklah ia berpikir dan menulis
b.    Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya bagi kepadatan karyanya. Sering- sering ia menulis tanpa memerlukan buku-bukunya referensi dan pada saat kegiatannya tidak kurang dari lima puluh lembar yang di tulis sehari-harinya.
c.    Sebelum ibnu Sina telah hidup al-farabi yang juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti al-farabi telah meratakan jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan- kesulitan yang dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.
Karangan- karangan ibnu Sina:
1.    Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri empat bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan metafisika, (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakan di Barat dan Timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga ke ilmuan Cekoslovakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M, dengan nama Al-burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. Adapun kata Al–syfa, latinnya Sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang terdidi dari 18 jilid mengenai fisika, matematika, dan metafisika, kitab ini di tulis pada waktu menjadi menteri Syams al-daulah dan selesai masa Ala’u al- Daulah di Isfahan.
2.    Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir
3.    Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah. Buku ini adalah buku yang terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya di terjemahkan ke dalam bahasa Prancis, kemudian diterbitkan lagi di kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4.    AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5.    Al-Qanun, atau canon of medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-risalah lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6.    Hidayah al-Rais li al-Amir.
7.    Risalah fi alkalam ala al-Nas al-Nathaqiyah, dan
8.    Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika Timur).
3. Filsafat Ibn Sina
a. Metafisika
Dalam masalah metafisika, Ibn Sina sebagai salah seorang filsuf eksistensial sepaham dengan Aristoteles. Dia mendefinisikan bahwa metafisika itu adalah pengetahuan adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagaimana adanya dan sejauh yang dapat diketahui oleh manusia. Dia mengklasifikasikan yang ada menjadi dua, yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud. Dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi tiga tingkatan. Pendapatnya itu memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:


1. Wajib al-wujud
Esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
2. Mumkin al-wujud
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika dia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada maka tidak mustahil, yakni boleh ada boleh juga tidak ada.
Dengan demikian, dalam menetapkan yang pertama (Allah) kita tidak perlu memerlukan perenungan sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap dan sempurna. Kedua macam pembuktian telah digambarkan dalam Al-Qur’an dalam surat Fusshilat ayat 53 yang berbunyi:
 سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدُ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami pada alam semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Tuhan menyaksikan segala sesuatu “.
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi dan Ibn Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Mahasempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri atas bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama). Ibn Sina berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan dia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibn Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab adanya alam.
Berkaitan dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiah sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1.    Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2.    Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.    Esensi yang tak boleh tida mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Dengan demikian, Tuhan adalah unik dala arti, Dia adalah Kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya,walaupun di dalam Kemaujudan ini tak boleh terdapan kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan  memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.
Sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab dan tokoh pertama dalam gerakan filosofis tersebut sejak Proclus (tokoh terakhir dari Barat), Ibn Sina tentu menganut paham emanasi. Ia berpendapat bahwa dari Tuhan memancar Akal Pertama. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal Pertama adalah sama-sama azali.
Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak. Tuhan adalah al-khair al-Mutlak disebut al-Isyq al-Mutlak dan Akal hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa falak kepada al-Khair disebut al-Isyq al-Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.
b. Jiwa
Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa atau nyawa (vital principle) sebagai “daya adijasmani” berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh benda-benda langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti oleh jiwa hewani, dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Jiwa nabati didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai dasar gerak (kehendak) dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan partikular dan jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal yang universal.
Ibn Sina lantas memberikan definisi umum tentang jiwa menggunakan kata-kata Aristoteles sebagai “kesempurnaan pertama dari benda organik yang alami” Sebagai daya-cerap terhadap hal-hal yang partikular dan bergerak sesuai dengan kehendak, ia disebut jiwa hewani; sebagai daya unutk mencerap hal-hal universal dan bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan, ia disebut jiwa manusiawi; dan sebagai daya untuk melahirkan, bertumbuh-kembang, dan mereproduksi sejenisnya, ia disebut jiwa nabati.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafahnya tentang jiwa. Di dalam masalah kejiwaan, Ibn Sina termasuk penganut faham dualisme (sanawiyah). Bagi Ibn Sina, substansi itu berlainan sama sekali dari materi tubuh, meskipun ia berasal dari pokok yang sama yakni Akal Fa’al, tetapi ia mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Ada tiga dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina tentang substansi jiwa tersebut.
a)    Saat manusia merenungkan dirinya, pada waktu itu secara sadar ia mengenal bahwa dirinya “ada” selama hidupnya.
b)   Bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan menumpahkan segenap perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata saya akan berbuat begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga.
c)    Manusia mampu menghimpun secara sadar akan aktivitas-aktivitas fisik organisme yang dilakukannnya tanpa kesulitan. Pengenalan terhadap aktivitas-aktivitas fisik menjadi bukti bahwa niwa berbeda dari fisik.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni:
1)   Argumen  psikofisik
2)   Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
3)   Argumen kontinuitas, dan
4)   Argumen manusia terbang di udara
Untuk membuktikan argumen pertama,Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
Untuk membuktikan unsur argumen yang kedua, Ibn Sina membedakan aku dan jiwa. Aku dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi jiwa dan kekuatannya. Dan untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik metuapak tingkah laku maupun hal ihwal di sekitarnya. Adapun pembuktian keempat, Ibn Sina mengatakan bahwa wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari akal 10. Sebagai aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
1.    Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2.    Jiwa binatang dengan daya-daya:
a.    Gerak ,
b.    Menangkap.
3.    Jiwa manusia dengan dua daya:
a.    Praktis yang hubungannya adalah dengan badan.
b.    Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak.
Sifat seorang manusia bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Apabila  jiwa telah mencapai kesempurnaannya, maka badan tidak diperlukan lagi bahkan menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan dengan terpisahnya antara badan denagn jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak mesti hancur dengan hancurnya badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena hanya mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik akan mati dengan matinya badan dan tak akan di hidupkan kembali di akhirat. Balasannya u tuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia saja. Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak akan dihidupkan kelak di akhirat.
Untuk membedakan hakikat jiwa dan jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun atas materi-materi sebagimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa (roh).
Menurut Ibn Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.  
c.  Kenabian
Tahapan mistis ialah apabila jiwa sudah ketak berhinggaan, menjalin hubungan dengan Intelek Aktif sehingga tak lagi perlu menjalani proses silogistik untuk bisa menangkap hal-hal universal, tetapi cukup dengan intuisi. Ibn Sina mengibaratkan tahap ini sebagai tahap “profesi” atau tahap berfungsinya “nalar suci”.
Tak pelak, ini metupakan puncak kemampuan intelek manusia, yang hanya ada pada para filosof dan Nabi. Berkat kemampuan ini, seorang Nabi dapat mengetahui segala sesuatu secara intuitif, mempersepsi aneka bentuk dan representasi audiovisual, mencandrakan masa depan dan mempengaruhi peristiwa fisik secara ajaib (miraculously). Bagi Ibn Sina, nalar suci termaksud tak lain dari sebentuk intelek habitual, yang mengerucut pada intelek capaian. Sifat yang mencolok dari psikologi Ibn Sina adalah tatanan hierarkisnya, yang di dalamnya kemampuan yang rendah selau patu pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka dari itu, pancaindra selalu patuh pada kemampuan batin, dan kemampuan batin selalu patuh pada kemampuan rasional.
Pendapat Ibn Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal materil sebagai yang terendah adakalanya di anugerahkan Tuhan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, oleh Ibn Sina dinamakan intuisis. Daya yang ada pada akal materi serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan, denagn mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai sifat suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal yang ada pada Nabi-nabi.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina memebagi manusia ke dalam empat kelompok:
1)   Mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia,
2)   Mereka yang memiliki kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang  demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan masa akan datang dan berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia,
3)   Mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif,
4)   Terakhir, adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu sistem sosial-politik. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa lambang dan hidup ini ditekankan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, namun oleh Ibn Sina hal itu lebih rinci lagi, bahwa sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan menghidupkan pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan keterbatasan-keterbatasan psikologi kita. Contoh kecilnya, jika kita lapar, imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-imaji yang hidup tentang makan.
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan akal nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakn oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat” malaikat, dan “mendengar” suaranya. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual. Dengan demikian, wahtu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
d. Tasawuf
Mengenai tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan Zuhud, beribah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akan akan menerima ma’rifah dari Akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebahagiaan pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui Akal fa’al.

e. Hukum Sebab Musabab
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan sebab ini. mutakallimun berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat dari atau hasil dari tuhan yang bertindak sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaan kepada wujud dan lain–lain. Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu tidak ada, kalau rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah tidak membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam oleh tuhan berbeda dengan pembuatan sebuah rumah oleh arsitek:
a.  Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan alam    selamanya perlu wakil. Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan perkataan       lain, sebab mendahului perbuatan dalam segala perbuatan yang terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang efisien dari alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata : “kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan oleh kehendak dan bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya adalah sama”. Dalam bagian ini ibnu sina berkata  : “teranglah, bahwa dalam setiap makhluk terdapat suatu kehendak batin. Kehendak batin ini dengan kebutuhannya menjadi sebab dari penciptanya. Setiap unsur ditemani kehendak batin yang senantiasa kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian ini menjadi bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak gambaran tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari pendiriannya tentang Tuhan Maha Mengatur.

f. Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu
Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasionil. Keterangan tersebut menyebabkan orang dapat melihat bagaimana ibnu sina menguraikan tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai baik dan buruk. Orang akan merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa antara baik dan buruk, baiklah yang akan menang. Tuhan menghendaki baik oleh karena itu ia menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk adalah baik dan kesempurnaan makhluk itu adalah terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan kesempurnaan datang dari tuhan. Sebab tuhan itu mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan menjelma dalam setiap yang dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu sebagai seorang perempuan yang tidak cantik yang memakai topeng sehingga dia tampak cantik sekedar untuk menutupi ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan tidak dapat terpisah dari topeng tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya. Tuhan sebagai puncak makhluk, maka tuhan pula merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Kita harus mengenal tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk yang mencoba memperoleh kesempurnaan dan kebaikan.
Undang alam semesta adalah sebaik–baik undang makhluk, dan dunia kita adalah sebaik–baik alam yang dapat difahamkan oleh otak manusia. Selama dunia ini tersusun dari kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda bentuk, potensi dan hakikat, kejahatan selamanya aka nada, kejahatan lebih sedikit daripada kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative dan kebaikan itu bersifat positif. Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan manusia terbatas, dia tidak dapat mengerti hikmah yang berada dalam kejahatan tuhan tidak melihat kepada sesuatu pendirian kita yang terbatas, akan tetapi tuhan memandang secara keseluruhannya terletak dalam aturan hirarki yang turun dari tuhan. Untuk membuktikan bahwa tuhan maha mengetahui, ibnu sina pernah menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan, yaitu :
a.       Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan berada diluar alam.
b.      Tesis Alqur’an yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala yang tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih besar di langit dan di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang–terangnya bukti” (Surat 34/4)
c.       Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang mengatakan bahwa tuhan adalah prinsip pertama, Yang Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh pengetahuan , sebab dengan meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang rangkap yaitu tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya sendiri, dia tahu bahwa Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu yang keluar daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
g. Pandangan Tentang Akal
Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk– bentuk. Rumusan ibnu sina diambil alih oleh seorang pendeta Dominican Albertus Magnus (1206 - 1280) yang dikemukakan di dunia barat.

Pengaruh filsafat Ibnu Sina:
Banyak sekali pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Sina, diantaranya:
Pertama, beliau menentang pemikiran kaum sufi ortodoks dengan tidak meninggalkan keduniaan sehingga melahirkan kaum sufi modern.
Kedua, hasil karya beliau dijadikan standar kurikulum di universitas Eropa.
Ketiga, dalam bidang pendidikan, Mahmud Yinus mengatakan bahwa Ibn Sina mengajukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni tenang, tidak bermuka masam, tidak berolok-olok di hadapan murid dan sopan santun.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filsuf sebelumnya, semisal Ak-Kindi dan Al-Farabi, Ibn Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan terbesar yang dilakukan oleh Ibn Sina adalah menjawab berbagai persoalan fislafat yang tak terjawab sebelumnya. Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Sina, seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran, tidak hanya tertuju pada dunia islam, tetapi merambah ke dataran Eropa. Filsafat metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari tema-tema filsuf yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Pengaruh dan kontribusi Ibn Sina tampak dalam sejarah filsafat abad pertengahan yang menganggapnya sebagai yang unik dan memperoleh pengahargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Keunikan Ibn Sina ini dibuktikan dengan kempuannya memengaruhi agama-agama lain di abad pertengahan selain dunia Islam sendiri, seperti fenomena perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibn Sina.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar