Selasa, 27 Desember 2016

Filsafat Maskawaih



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRA5_loYmAdS_mCRV04XLz7va4l_WRQaNJweV5-yb3x3ybD0xLaFhyphenhyphenDS0P9gPIwIBFDOhap3r8m-5sNZW77_dXwZZfdP0wv6O8hF-4nshH0khxCKjv3VdDlq-wv0V2qcGmQ5VzXTZ9Nm-6/s320/IBNU+MASKAWAIH.jpg

A.    RIWAYAT HIDUP MASKAWAIH
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih.  Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang) Iran. Mengenai tahun kelahirannya, terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dari penulis, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M.

Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.

Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada  tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[3].
            Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.

B.     PEMIKIRAN IBNU MASKAWAIH
Pemikiran Ibnu Maskawih mencakup beberapa hal, diantaranya ialah:
1.      Filsafat  Ketuhanan
Menurut Ibnu Miskawaih membuktikan adanya tuhan adalah muda, karena kebenarannnya tentangg adanya tuhan telah terbukti pada dirinya sendiri dengan jelas. Namun kesukarannya adalah karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkaunya. Tetapai orang yang berusaha keras untuk memperoleh bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhirnya akan sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang meyakinkan tentang kebenaran adanya.
Miskawaih mengatakan bahwa sebenarnya tentang adanya tuhan pencipta itu telah menjadi kesepakatan filosof sejak dahulu kala. Tuhan pencipta itu Esa, Azali (tanpa awal) dan bukan materi (jisim).Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung pada kepada yang lain. Tampaknya pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Al-Farabi. Argumen yang digunakan Ibnu Miskawaih untuk membuktikan adanya tuhan yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Argumen gerak ini diambil dari Aristoteles. Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala sesuatu dari tiada menjadi ada, sebab tidak ada artinya mencipta.
      Alam diciptakan oleh Tuhan dari tiada, alam melami gerakan yang bersifat natur bagi alam yang menimbulkan perubahan. Tiap-tiap bentuk yang berubah digantikan oleh bentuk yang baru, bentuk yang lama menjadi tiada, dengan demikian terjadilah ciptaan yang terus-menerus. Pendapat ini sepaham dengan pendapat Aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk semula.
      Nampak pemikiran Ibnu Miskawaih sepaham dengan pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta sebagai suatu proses penjadian. Walaupun demikian ia menganut teori emanasi yang berbeda dengan Al-Farabi. Bagi Miskawaih Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada, sedangkan menurut Al-Farabi alam dijadikan secara pancaran dari sesuatu akal, bahan yang sudah ada menjadi ada. Akan tetapi menurut Ibnu Rushd creatio ex nihilo hanyalah interpretasi kaum teolog saja.

2.      Filsafat Jiwa
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.
Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain.
Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
1)      Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2)      Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
3)      Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.


3.      Filsafat Kenabian
Dalam pemikiran Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat diperoleh pula oleh para filosof. Tetapi ada perbedaan pada cara untuk memperolehnya. Dikatakan kekuatan imajinasi seseorang mampu meningkat lagi hingga melewati batas yang biasa pada kebanyakan manusia. Seseorang setelah mencapai tingkat tersebut dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran.
Bilamana seseorang melanjutkan pemikiran terus menerus setelah tiba pada tingkatan tersebut maka tilikan rohaninyan akan makin kuat dan tilikan pengamatannya makin tajam, dan terpancarlah baginya hal ihwal illahiat sejelas-jelasnya. Sehingga perbedaan mengenai cara memperoleh hakikat atau kebenaran antara nabi dan filosofialah nabi memperoleh kebenaran diturunkan langsung dari akal aktif langsung kepada kepada nabi sebagai rahmat Allah, sedangkan filosof memperoleh kebenaran dengan cara berusaha dan berfikir secara terus menerus.
 Menurut pemikiran Ibnu Miskawaih manusia mengalami evolusi, berkembang bukan hanya secara fisik, tetapi berkembang pula tingkat ecerdasannya, cara berfikirnya bertambah maju sehingga menjadi bijaksana bahkan mendekati derajat malaikat. Manusia menurut fitrahnya mempunyai kemampuan dan kemauaan untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini bisa dicapai melalui mawas diri, perenungan, beribadah dengan baik, menjaga dan membersihkan jiwa dari perbuatan jahat dan tercela.

4.      Filsafat Akhlak
Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. 
Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik.
Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
 Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq.

C.    KARYA-KARYA IBNU MASKAWAIH
Jumlah karya tulisnya dalam Abdul Aziz Dahlan yang mendasarkan kepada penulis masa lalu adalah sebanyak delapan belas buah judul yang kebanyakan berbicara tentang jiwa dan akhlak (etika). Lain halnya dengan Yaqut memberikan daftar 13 buah karya Miskawaih. Untuk bahan rujukan, penulis rinci sebagai berikut:
1.      Al-fauz Al-akbar (tentang keberhasilan besar
2.      Al-fauz Al-Ashghar (tentang keberhasilan kecil)
3.      Tajarib Al-Umam (tentang pengalaman bangsa-bangsa sejak awal sampai ke masa hidupnya)
4.      Uns Al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata mutiara)
5.      Tartib As-Saadah (tentang akhlak dan politik)
6.      Al-Musthafa ( syair-asyair pilihan)
7.      Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8.      Al-Jami
9.      As-Siyar (tentang aturan hidup)
10.  Tahzib Al-Akhlak (pendidikan Akhlak)
11.  Ajwibah wa Al-As’ilah fi an-Nafs wa Al-Aql (Tanya jawab tentang jiwa)
12.  Al-Jawab fi Al-Masa’il As-Salas (jawaban tentang tiga masalah)
13.  Taharat An-Nafs (kesucian jiwa)
14.  Risalah fi Al-Ladzadzat wal-Alam fi Jauhar An-Nafs
15.  Risalah fi jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan Ash-Shufi fi Haqiqat Al-Aql
16.  Risalah fi Haqiqah Al-Aql.

 Muhammad Baqir ibn Zain Al-Hawanshari yang dikutip Fuad Al-Ahwani, mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa parsi (Raudhatul Al-Jannah, Teheran, 1287 H/ 1870 M, hlm. 70 ).

D.    KONSEP PENDIDIKAN IBNU MASKAWAIH
Ibnu Miskawaih merupakan sosok yang sangat terkenal juga dalam bidang pendidikan, ide-ide cemerlang yang beliau cetuskan merupakan sebuah wahana baru dalam bidang pendidikan yang terlahir dari karya seorang Ibnu Miskawaih.
            Sepak terjang Ibnu Miskawaih tidak diragukan lagi dalam dunia pendidikan dan pemikiran. gagasan yang beliau tuangkan dan lahirkan merupakan salah satu era terobosan dalam menanggapi kemajuan dunia dalam bidang Pendidikan. Pemikiran Ibnu Miskawaih sudah seharusnya menjadi tauladan bagi mereka yang ingin sukses dalam meraih masa depan yang gemilang.
Untuk mencapai target pendidikan moral beliau menekankan pada keutuhan dan bagaimana sikap bathin yang mampu mendorong perbuatan yang bernilai luhur seara spontanitas, agar tercapai kesempurnaan dan kebahagian yang sempurna.Dalam buku Ahmad Syari'i mengatakan bahwa kesempurnaan manusia itu ada dua macam yaitu: pertama kesempurnaan teoritis ( dengan mempelajari ilmu logika ) dan kedua praktis( kesempurnaan yang diaplikansikan dengan jalan-jalan empirik). Pendidikan dan peserta didik adalah dua indicator yang sangat diperhatikan oleh beliau dan keberhasilan pendidikan itu haruslah didukung oleh peran-aktif dari orang, sebagai pembimbing ketika pelajar/anak didik berada diluar wilayah sekolah.
 Menurut Ibnu miskawaih, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halu li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tampa berpikir dan pertimbangan.Dalam konsep pendidikan Ibnu miskawaih menunjukkan bahwa manusia sebagai daya berpikir, daya bernafsu, hikmah, unsur-unsur inilah yang sangat mempengaruhi sikap dan perbuatan manusia dan bagaimana manusia bersikap berani, sederhana dan juga bersikap adil. Konsep ini merupakan landasan pikir bahwa konsep pendidikan beliau adalah pendidikan yang  berbasis moral education.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar