A. RIWAYAT HIDUP MASKAWAIH
Nama lengkapnya adalah
Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran
sekarang) Iran. Mengenai tahun kelahirannya, terdapat perbedaan-perbedaan
pendapat dari penulis, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth
menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan
wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
Maskawaih adalah salah
seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika
Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan
sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India,
disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Sebutan namanya yang
lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari
nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah
Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang
sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat
Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa
Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan
yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah
dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Dilihat dari tahun
lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang
berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari
keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi
dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan
gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga
Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di
bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani
Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan
pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[3].
Puncak prestasi bani Buwaih adalah
pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah
Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah.
Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan,
dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati
Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah
agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang
etika Islam.
B. PEMIKIRAN IBNU MASKAWAIH
Pemikiran Ibnu Maskawih mencakup beberapa hal, diantaranya ialah:
1.
Filsafat Ketuhanan
Menurut Ibnu Miskawaih
membuktikan adanya tuhan adalah muda, karena kebenarannnya tentangg adanya
tuhan telah terbukti pada dirinya sendiri dengan jelas. Namun kesukarannya
adalah karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkaunya. Tetapai orang yang
berusaha keras untuk memperoleh bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam
kesukaran, pasti akhirnya akan sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang
meyakinkan tentang kebenaran adanya.
Miskawaih mengatakan bahwa sebenarnya tentang adanya tuhan pencipta itu
telah menjadi kesepakatan filosof sejak dahulu kala. Tuhan pencipta itu Esa,
Azali (tanpa awal) dan bukan materi (jisim).Tuhan ada tanpa diadakan dan
ada-Nya tidak bergantung pada kepada yang lain. Tampaknya pemikiran ini sejalan
dengan pemikiran Al-Farabi. Argumen yang digunakan Ibnu Miskawaih untuk
membuktikan adanya tuhan yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau
perubahan yang terjadi pada alam. Argumen gerak ini diambil dari Aristoteles.
Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala
sesuatu dari tiada menjadi ada, sebab tidak ada artinya mencipta.
Alam
diciptakan oleh Tuhan dari tiada, alam melami gerakan yang bersifat natur bagi
alam yang menimbulkan perubahan. Tiap-tiap bentuk yang berubah digantikan oleh
bentuk yang baru, bentuk yang lama menjadi tiada, dengan demikian terjadilah
ciptaan yang terus-menerus. Pendapat ini sepaham dengan pendapat Aristoteles
bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk
semula.
Nampak
pemikiran Ibnu Miskawaih sepaham dengan pemikiran Aristoteles yang mengatakan
bahwa alam semesta sebagai suatu proses penjadian. Walaupun demikian ia
menganut teori emanasi yang berbeda dengan Al-Farabi. Bagi Miskawaih Allah
menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada, sedangkan menurut
Al-Farabi alam dijadikan secara pancaran dari sesuatu akal, bahan yang sudah
ada menjadi ada. Akan tetapi menurut Ibnu Rushd creatio ex nihilo hanyalah
interpretasi kaum teolog saja.
2. Filsafat Jiwa
Menurut Ibnu Maskawaih,
Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani,
suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca
indera.
Jiwa tidak bersifat
material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat
menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan
yang lain.
Misalnya, jiwa dapat
menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama,
sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja.
Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang
spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding
daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan
sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari itu, di dalam
jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan
inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang
benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca
indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek
inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan demikian, jiwa
bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang
dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu
bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui
dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul
unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan
ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih
menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan
berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah
kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan
yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya
sebagai berikut:
1) Al
nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2) Al
nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
3) Al
nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Manusia dikatakan
menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa
yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan
jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling
mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya
selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai
hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah
derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan dengan
kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih
mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub,
sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas
mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.
3.
Filsafat Kenabian
Dalam pemikiran Ibnu
Miskawaih, nabi adalah seorang seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat
atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat diperoleh pula oleh
para filosof. Tetapi ada perbedaan pada cara untuk memperolehnya. Dikatakan
kekuatan imajinasi seseorang mampu meningkat lagi hingga melewati batas yang
biasa pada kebanyakan manusia. Seseorang setelah mencapai tingkat tersebut
dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran.
Bilamana seseorang
melanjutkan pemikiran terus menerus setelah tiba pada tingkatan tersebut maka
tilikan rohaninyan akan makin kuat dan tilikan pengamatannya makin tajam, dan
terpancarlah baginya hal ihwal illahiat sejelas-jelasnya. Sehingga perbedaan
mengenai cara memperoleh hakikat atau kebenaran antara nabi dan filosofialah
nabi memperoleh kebenaran diturunkan langsung dari akal aktif langsung kepada
kepada nabi sebagai rahmat Allah, sedangkan filosof memperoleh kebenaran dengan
cara berusaha dan berfikir secara terus menerus.
Menurut pemikiran Ibnu Miskawaih manusia
mengalami evolusi, berkembang bukan hanya secara fisik, tetapi berkembang pula
tingkat ecerdasannya, cara berfikirnya bertambah maju sehingga menjadi
bijaksana bahkan mendekati derajat malaikat. Manusia menurut fitrahnya mempunyai kemampuan
dan kemauaan untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini bisa dicapai melalui mawas
diri, perenungan, beribadah dengan baik, menjaga dan membersihkan jiwa dari
perbuatan jahat dan tercela.
4. Filsafat Akhlak
Sebagai “Bapak Etika
Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al
tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al
tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al
awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam
kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan
budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah
bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan
pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan
sebelumnya.
Dengan kata lain, khuluq merupakan
keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa
tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan
membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan
baik.
Dari pengertian itu
dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa
fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang
bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada
perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu
keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan
macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia
mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka
diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan
berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan
manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya
dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih
memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya
dengan pembinaan akhlaq.
C. KARYA-KARYA IBNU
MASKAWAIH
Jumlah karya tulisnya dalam Abdul Aziz Dahlan yang mendasarkan kepada
penulis masa lalu adalah sebanyak delapan belas buah judul yang kebanyakan
berbicara tentang jiwa dan akhlak (etika). Lain halnya dengan Yaqut memberikan
daftar 13 buah karya Miskawaih. Untuk bahan rujukan, penulis rinci sebagai
berikut:
1.
Al-fauz Al-akbar (tentang keberhasilan besar
2.
Al-fauz Al-Ashghar (tentang keberhasilan kecil)
3.
Tajarib Al-Umam (tentang pengalaman bangsa-bangsa sejak awal sampai ke masa
hidupnya)
4.
Uns Al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata mutiara)
5.
Tartib As-Saadah (tentang akhlak dan politik)
6.
Al-Musthafa ( syair-asyair pilihan)
7.
Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8.
Al-Jami
9.
As-Siyar (tentang aturan hidup)
10.
Tahzib Al-Akhlak (pendidikan Akhlak)
11.
Ajwibah wa Al-As’ilah fi an-Nafs wa Al-Aql (Tanya jawab tentang jiwa)
12.
Al-Jawab fi Al-Masa’il As-Salas (jawaban tentang tiga masalah)
13.
Taharat An-Nafs (kesucian jiwa)
14.
Risalah fi Al-Ladzadzat wal-Alam fi Jauhar An-Nafs
15.
Risalah fi jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan Ash-Shufi fi Haqiqat
Al-Aql
16.
Risalah fi Haqiqah Al-Aql.
Muhammad Baqir ibn Zain
Al-Hawanshari yang dikutip Fuad Al-Ahwani, mengatakan bahwa ia juga menulis
beberapa risalah pendek dalam bahasa parsi (Raudhatul Al-Jannah, Teheran, 1287
H/ 1870 M, hlm. 70 ).
D.
KONSEP PENDIDIKAN IBNU MASKAWAIH
Ibnu
Miskawaih merupakan sosok yang sangat terkenal juga dalam bidang pendidikan,
ide-ide cemerlang yang beliau cetuskan merupakan sebuah wahana baru dalam
bidang pendidikan yang terlahir dari karya seorang Ibnu Miskawaih.
Sepak terjang Ibnu Miskawaih tidak diragukan lagi dalam dunia pendidikan dan pemikiran. gagasan yang beliau tuangkan dan lahirkan merupakan salah satu era terobosan dalam menanggapi kemajuan dunia dalam bidang Pendidikan. Pemikiran Ibnu Miskawaih sudah seharusnya menjadi tauladan bagi mereka yang ingin sukses dalam meraih masa depan yang gemilang.
Sepak terjang Ibnu Miskawaih tidak diragukan lagi dalam dunia pendidikan dan pemikiran. gagasan yang beliau tuangkan dan lahirkan merupakan salah satu era terobosan dalam menanggapi kemajuan dunia dalam bidang Pendidikan. Pemikiran Ibnu Miskawaih sudah seharusnya menjadi tauladan bagi mereka yang ingin sukses dalam meraih masa depan yang gemilang.
Untuk mencapai target pendidikan moral beliau menekankan pada keutuhan dan
bagaimana sikap bathin yang mampu mendorong perbuatan yang bernilai luhur seara
spontanitas, agar tercapai kesempurnaan dan kebahagian yang sempurna.Dalam buku
Ahmad Syari'i mengatakan bahwa kesempurnaan manusia itu ada dua macam yaitu: pertama
kesempurnaan teoritis ( dengan mempelajari ilmu logika ) dan kedua praktis(
kesempurnaan yang diaplikansikan dengan jalan-jalan empirik). Pendidikan dan
peserta didik adalah dua indicator yang sangat diperhatikan oleh beliau dan
keberhasilan pendidikan itu haruslah didukung oleh peran-aktif dari orang,
sebagai pembimbing ketika pelajar/anak didik berada diluar wilayah sekolah.
Menurut Ibnu miskawaih, moral atau
akhlak adalah suatu sikap mental (halu li al-nafs) yang mengandung daya
dorong untuk berbuat tampa berpikir dan pertimbangan.Dalam konsep pendidikan
Ibnu miskawaih menunjukkan bahwa manusia sebagai daya berpikir, daya
bernafsu, hikmah, unsur-unsur inilah yang sangat mempengaruhi sikap dan
perbuatan manusia dan bagaimana manusia bersikap berani, sederhana dan juga
bersikap adil. Konsep ini merupakan landasan pikir bahwa konsep pendidikan
beliau adalah pendidikan yang berbasis moral education.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar